Mahasiswa Universitas Andalas Sindir Lemahnya Hukum di Indonesia dalam Menjerat Koruptor, Nah Loh?

Artikel berjudul "Korupsi dan Hukum di Negeri Sendiri: Mengapa Jeratnya Selalu Longgar?" ini ditulis oleh Ahmad Hadi Radhiyallah, mahasiswa Ilmu Politik, FISIP, Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat. --kolase koranpalpres.com
Artikel berjudul "Korupsi dan Hukum di Negeri Sendiri: Mengapa Jeratnya Selalu Longgar?" ini ditulis oleh Ahmad Hadi Radhiyallah, mahasiswa Ilmu Politik, FISIP, Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.
KORANPALPRES.COM - Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang melanda pondasi kehidupan bangsa.
Dalam data terbaru dari Transparency International (2024), Indonesia masih berada di posisi bawah dalam Indeks Persepsi Korupsi, yang mencerminkan betapa dalamnya praktik suap, gratifikasi, dan penyalahgunaan kekuasaan masih merajalela di negeri ini.
Namun, meskipun upaya pemberantasan terus dilakukan, ada sebuah pertanyaan yang tetap mengganggu: mengapa hukum di negeri sendiri terasa begitu lemah dalam menjerat pelaku korupsi?
BACA JUGA:3 Dimensi Hukum Agraria di Indonesia, ini Pendapat Cerdas Mahasiswa Universitas Andalas
BACA JUGA:Mahasiswa Universitas Andalas Prihatin, WNI Jadi Korban Jaringan Gelap Perdagangan Ginjal di Kamboja
Hukum, dalam teori, seharusnya menjadi alat yang mengatur ketertiban dan keadilan dalam masyarakat, seperti yang diungkapkan oleh Roscoe Pound pada 1942.
Namun, kenyataannya sistem hukum di Indonesia sering kali tidak konsisten dan bahkan terlihat lemah dalam penegakan hukum terhadap korupsi.
Kasus-kasus korupsi besar sering kali berakhir dengan hukuman yang ringan, remisi, atau bahkan pembebasan bersyarat, sementara untuk pelanggaran kecil, hukum justru bertindak dengan tegas.
Ketidakkonsistenan ini menciptakan ketidak percayaan publik terhadap lembaga peradilan, yang seharusnya menjadi benteng terakhir penegakan keadilan.
BACA JUGA:Suara Mahasiswa Universitas Andalas! Korupsi Gerogoti Sistem Peradilan Bikin Hukum Tajam ke Bawah
Salah satu alasan mengapa hukum tampak lemah adalah adanya budaya Patronasi (Dukungan atau perlindungan yang diberikan oleh seorang individu atau organisasi kepada orang lain) yang mengakar dalam politik Indonesia.
Dalam teori jaringan kekuasaan, individu dengan akses politik dan sosial yang kuat sering kali dapat "menyelamatkan diri" dari jerat hukum.