https://palpres.bacakoran.co/

Mahasiswa Universitas Andalas Setujui Gagasan Penjara di Pulau Terpencil untuk Koruptor, Asalkan...

Artikel berjudul Penjara di Pulau Terpencil: Antara Simbolisme dan Strategi dalam Pemberantasan Korupsi di Era Prabowo ditulis oleh Gita Pakpahan, Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Andalas.--kolase koranpalpres.com

Artikel berjudul Penjara di Pulau Terpencil: Antara Simbolisme dan Strategi dalam Pemberantasan Korupsi di Era Prabowo ditulis oleh Gita Pakpahan, Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Andalas.

KORANPALPRES.COM - Korupsi telah lama menjadi masalah struktural dalam pembangunan nasional Indonesia.

Sejak era reformasi bergulir, isu pemberantasan korupsi terus menjadi komoditas politik yang diangkat oleh hampir setiap pemimpin negeri.

Namun, meskipun telah banyak pejabat publik yang ditangkap dan dijatuhi hukuman, praktik korupsi tetap berlangsung dalam berbagai bentuk, dari suap, gratifikasi, hingga penyalahgunaan kekuasaan.

Hal ini menunjukkan bahwa persoalan korupsi bukan sekadar masalah individu, melainkan juga cerminan lemahnya sistem dan institusi penegakan hukum yang ada.

Pada Maret 2025, Presiden Prabowo Subianto melontarkan gagasan yang cukup kontroversial dan menyedot perhatian publik secara luas: membangun penjara khusus bagi para koruptor di sebuah pulau terpencil.

Dalam pidatonya di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Prabowo menekankan bahwa korupsi adalah penghambat utama pembangunan nasional dan menjadi musuh rakyat yang harus diperangi dengan cara yang tidak biasa.

Menurutnya, penjara di lokasi terpencil akan memberikan efek jera karena para koruptor akan benar-benar merasakan hukuman—bukan hanya dari segi hukum, tetapi juga secara sosial dan psikologis, karena terisolasi dari dunia luar.

Gagasan ini pun menimbulkan polemik. Di satu sisi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyambut baik wacana tersebut.

KPK bahkan mengusulkan agar para narapidana korupsi tidak mendapatkan fasilitas negara seperti konsumsi, melainkan harus bertani atau bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Usulan ini dianggap sejalan dengan semangat memberikan efek jera dan mengurangi beban keuangan negara akibat biaya pemasyarakatan yang tinggi.

Namun, di sisi lain, banyak kalangan akademisi, pakar hukum, dan aktivis antikorupsi menanggapi gagasan tersebut dengan skeptis.

Mereka menilai bahwa pendekatan simbolik seperti membangun penjara di lokasi terpencil hanya menyentuh permukaan masalah. Zaenur Rohman, peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, menegaskan bahwa yang lebih penting dalam pemberantasan korupsi adalah memastikan pengembalian aset hasil korupsi ke negara dan pengenaan denda maksimal. Menurutnya, tanpa mekanisme yang kuat untuk melacak dan merampas kekayaan hasil korupsi, hukuman fisik semacam itu tidak akan cukup efektif dalam mencegah tindakan serupa di masa depan.

Sebagian pengamat bahkan menilai wacana tersebut sebagai bentuk populisme penegakan hukum. Pernyataan keras dan gagasan ekstrem seperti penjara di pulau terpencil memang bisa menciptakan citra pemimpin tegas. Namun, tanpa diikuti oleh reformasi struktural dalam lembaga-lembaga penegak hukum—seperti kejaksaan, kepolisian, dan peradilan—upaya tersebut berisiko hanya menjadi gimmick politik yang tidak menyentuh akar masalah. Apalagi, sejarah menunjukkan bahwa berbagai janji pemberantasan korupsi sebelumnya kerap tidak berjalan konsisten ketika berhadapan dengan elit politik dan kepentingan kekuasaan.

Selain itu, pembangunan penjara di pulau terpencil menimbulkan sejumlah pertanyaan praktis: bagaimana sistem pengawasan dan keamanannya? Berapa biaya pembangunan dan operasional yang akan dikeluarkan negara? Apakah langkah ini sebanding dengan hasil yang diharapkan? Tanpa kajian mendalam dan perencanaan yang matang, proyek semacam ini justru berisiko menjadi pemborosan anggaran, apalagi jika tidak disertai kebijakan pendukung lainnya yang menyeluruh.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan