Suku-suku di Provinsi Papua, Punya Kelompok Suku Terbanyak di Indonesia
Salah satu suku terbesar di Provinsi Papua adalah suku Biak.-travelling Indonesia-
PALEMBANG, KORANPALPRES.COM.COM – Sebelum menjadi 6 provinsi seperti sekarang, Papua atau Irian Jaya dulu, hanya ada 1 provinsi. Kota Jayapura menjadi ibukota provinsinya.
Setelah pemekaran daerah, tentu provinsi induk Papua tidak seluas dulu dan penduduknya yang terdiri beragam suku tentu lebih tersebar.
Tetapi penduduk provinsi Papua tetap terdiri dari bermacam-macam suku bangsa yang tersebar di seluruh provinsi.
Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia 2010 oleh BPS dari 2.780.144 jiwa populasi 2010, populasi penduduk provinsi Papua dari suku asli Papua sebanyak 2.121.436 jiwa (76,32%). (Ketika itu 3 provinsi baru yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan belum dimekarkan, red).
BACA JUGA:Suku-suku di Provinsi Papua Pegunungan, Punya Keahlian Mengawetkan Mayat
Warga pendatang dari luar Papua yang terbanyak yaitu suku Jawa sebanyak 233.145 jiwa (8,39%), kemudian asal Sulawesi (selain Bugis, Makassar, Minahasa) 102.157 jiwa (3,67%),
Lalu ada suku Bugis 88.679 jiwa (3,19%), suku-suku asal Maluku 82.597 jiwa (2,97%), Makassar 41.239 jiwa (1,48%), suku-suku asal NTT 26.285 jiwa (0,95%), Minahasa 21.394 jiwa (0,77%), Batak 16.243 jiwa (0,58%), Sunda 13.376 jiwa (0,48%), Madura 3.681 jiwa (0,13%), Tionghoa 3.405 jiwa (0,12%) dan lainnya 0,95%.
Warga atau kelompok suku asli di provinsi Papua termasuk kelompok suku terbanyak di Indonesia.
Ada ratusan suku asli di provinsi Papua yang terdiri dari suku-suku dari suku yang sedikit populasinya sampai yang lumayan besar.
BACA JUGA:Suku-suku di Provinsi Papua Selatan, Ada Suku Asmat yang Mahir Memahat
Beberapa suku asli yang cukup banyak warganya seperti Biak atau Sentani.
Suku Biak, saat ini menjadi salah satu kelompok etnis terbesar di Papua dan mendiami wilayah utara Teluk Cenderawasih.
Ada tiga pulau utama di sana yakni Biak, Supiori, dan Numfor, dengan total luas daratan sekitar 2500 km2.
Zaman penjajahan Eropa dahulu, perempuan acapkali dianggap sebagai komoditas perdagangan, bahkan menjadi budak atau alat untuk melahirkan.