Masyarakat yang melihat rambut tersebut terurai di sungai mulai percaya bahwa rambut yang terbawa oleh aliran sungai itu adalah rambut pemimpin mereka yang sedang berjaga di ujung desa.
Masyarakat yang sedang mengambil wudhu di sungai saat subuh melihat rambut tersebut terburai di aliran sungai.
Dari sana, masyarakat mulai menyebut desa ini dengan nama "Burai," yang berasal dari rambut yang terurai tersebut.
Nah, hingga saat ini makam Aulia Umuluddin masih ada dan sering dijadikan tempat ziarah oleh masyarakat setempat.
BACA JUGA:6 Rekomendasi Wisata Di Ogan Ilir Yang Wajib Kamu Kunjungi, Nomor 5 Dapat Menyejukkan Mata
Penduduk Desa Burai memiliki beragam profesi, seperti nelayan, petani, tukang kayu, tukang batu, dan bahkan mengembangkan berbagai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Seperti tenun songket, kerajinan purun, dan berbagai produk kerajinan tangan seperti wadah tisu, tas, topi, sandal, dan lainnya.
Namun, perubahan terbaru telah memberikan desa ini nafas baru.
Desa Burai telah bertransformasi menjadi sebuah kampung yang penuh warna-warni yang memikat, dikenal sebagai Burai Ekowisata atau Bueko.
BACA JUGA:Terbang Ke 50 Destinasi Wisata Cukup Melalui Kertajati Majalengka dengan SUPER AIR JET
Hal inilah yang membuat desa ini semakin populer sebagai desa destinasi wisata yang menarik.
Menurut sumber-sumber yang dapat dipertanggung jawabkan, Desa Burai telah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya.
Ini pula dibuktikan dengan lokasinya di sepanjang bantaran sungai Kelekar yang bermuara ke Sungai Musi.
Pada masa itu, seluruh aktivitas masyarakat bergantung pada perairan sebagai sarana transportasi utama.
BACA JUGA:Nikmati Indahnya Malam di Palembang, 4 Destinasi Wisata Malam yang Wajib Dikunjungi
Desa Burai juga memiliki sejumlah prestasi yang patut dibanggakan, seperti meraih juara satu dalam lomba Kampung Keluarga Berkualitas tingkat kabupaten Ogan Ilir tahun 2020.