Pada tahun 1924, ketika Wali Kota Le Cocq de Ville memimpin kota ini, wacana itu sempat muncul kembali, tetapi tetap tidak terealisasi, bahkan hingga Belanda hengkang dari Indonesia, belum juga terwujud.
Setelah kemerdekaan Indonesia, usaha untuk membangun jembatan ini mencuat kembali, tepatnya pada tahun 1957.
BACA JUGA:5 Jembatan Terindah di Dunia, Sajikan Pemandangan Menakjubkan!
BACA JUGA:Jembatan Ogan 1 Kertapati Diperbaiki, Begini Imbauan KAI Divre III Palembang
Ketika itu, DPRD Peralihan Kota Besar Palembang mengajukan usulan pembangunan jembatan yang disebut "Jembatan Musi" yang merujuk pada Sungai Musi yang akan dilintasinya.
Hal itu sebenarnya ini tergolong sangat nekat, lantaran pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang hanya memiliki anggaran pembangunan sebesar Rp30.000,00.
Panitia pembangunan dibentuk pada tahun yang sama. Panitia dari berbagai pihak, termasuk Pengusaha Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, Gubernur Sumatera Selatan, H.A. Bastari, Wali Kota Palembang M. Ali Amin, dan Indra Caya.
Tim ini pun mendekati Presiden Soekarno untuk mendapatkan dukungan, Presiden Soekarno pun memberikan dukungan penuh untuk membangun jembatan tersebut dengan syarat bahwa dua ujung jembatan akan dihiasi dengan boulevard atau taman terbuka.
Kontrak pembangunan pun akhirnya ditandatangani pada tanggal 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000.
BACA JUGA:Jembatan Terpanjang Nomor 2 se Indonesia Berada Kabupaten Lahat Tepatnya di Desa Ini Lho, Intip Yuk
Dana Pembangunan Jembatan dari Pampasan Perang Jepang
Pembangunan jembatan ini lantas dimulai mulai April 1962 setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno.
Lalu akhirnya ada dana tambahan untuk pembangunan jembatan tersebut yang berasal dari dana pampasan perang Jepang.
Para ahli dari Jepang akhirnya diturunkan untuk pembangunan proyek ini.
Pada mulanya Jembatan ini dinamai jembatan Bung Karno sebagai bentuk penghargaan atas usahanya, namun ketika kemudian banyak terjadi peristiwa di Indonesia, tepatnya pada tahun 1966, muncul pergolakan politik anti-Soekarno. Itulah yang membuat jembatan ini berganti nama menjadi "Jembatan Ampera" (Amanat Penderitaan Rakyat).