Bukan Sekedar Penutup Kepala! Fakta dan Filosofi Tanjak, Sudah Eksis Sejak Masa Kesultanan Palembang
Tak Sekedar Penutup Kelapa! Fakta dan Filosofi Tanjak, Sudah Eksis Sejak Masa Kesultanan Palembang-kolase-
Namun, pada tahun 1823, pihak Belanda menghapus tanjak dari Kesultanan Palembang Darussalam.
Pada akhirnya tanjak masih tetap ada hingga saat ini yang menjadi simbol budaya.
BACA JUGA:Kebanggaannya 'Wong Kito’! 10 Jenis Kerupuk Kemplang Khas Palembang, Nomor 4 Sudah Hampir Punah
Tak hanya sebagai simbol budaya, penggunaan tanjak pun juga ditujukan untuk acara-acara penting dan juga acara adat.
Tanjak sendiri berasal dari bahasa Melayu Palembang yang memiliki manka tanjak atau nanjak, yang berarti naik ke tempat yang tinggi.
Hal inilah yang menjadikan tanjak berbentuk menjulang tinggi atau di bagian ujungnya meninggi yang diwakili dengan segitiga.
Seperti yang dilansir dari kemendikbud.go.ig, tanjak sendiri memiliki beberapa syarat, yang pertama terbuat dari kain.
BACA JUGA:8 Rekomendasi Oleh-Oleh Khas Palembang yang Jadi Favorit Wisatawan!
BACA JUGA:Olahan Ikan Tenggiri Dibungkus Daun Pisang: Begini Cara Buat Otak-Otak Khas Palembang
Sebab, biasanya kain yang digunakan pada tanjak ialah kain songket, pardo, angkinan dan batik.
Untuk tanjak yang terbuat dari songket biasanya digunakan oleh para pangeran atau bangsawan yang memiliki jabatan tinggi, semantara tanjak batik digunakan bangsawan dan masyarakat umum.
Syarat kedua ialah tanjak menggunakan kain segi empat yang kemudian dilipat menjadi kain yang berbentuk segitiga.
Selanjutnya, bagian terpenting yang ketiga ialah simpul, sebab simpul yang berada di tanjak akan melambangkan tentang ikatan atau persatuan.
Namun, ada juga beberapa yang mengartikannya sebagai ikatan pernikahan ataupun kekeluargaan.