Padahal, wajah yang ditampilkan sudah melalui beberapa prosedur dan tidak sempurna seperti apa yang dilihat di media
Contoh lain bisa kita saksikan secara nyata pada iklan-iklan produk kecantikan.
Iklan-iklan yang ada selalu menggambarkan kulit putih cerah dan mulus itu adalah pencapaian ideal sehingga memunculkan persepi bahwa kulit putih itu superior.
BACA JUGA:Cara Membuat Singkong Thailand, Lembut dan Creamy Banget, Wajib Kamu Coba
BACA JUGA:Upaya Melawan Penjajahan Budaya Pop
Iklan-iklan ini juga menggunakan selebriti dengan penampilan sempurna yang memenuhi standar kecantikan sehingga membuat audiens berpikir bahwa kecantikan yang disuguhkan bisa dicapai dengan menggunakan produk-produk tertentu.
Lookism bukan hanya istilah tapi fenomena nyata.
Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Journal of Applied Psychology menemukan bahwa orang-orang yang dianggap lebih menarik secara fisik lebih cenderung dipilih dalam rekrutmen pekerjaan dibanding orang yang dipandang kurang menarik.
Hal ini menyoroti betapa pentingnya penampilan fisik dalam keberhasilan seseorang dalam dunia kerja.
BACA JUGA:Miris, 2 Tari Sambut Khas Sumsel Gending Sriwijaya dan Tanggai Belum Punya Dasar Hukum, Kok Bisa?
Contohnya, orang yang dinilai lebih menarik secara fisik cenderung menerima upah yang lebih tinggi di tempat kerja, lebih cepat dipromosikan, dan lebih sukses dalam negosiasi.
Lookism dapat mencerminkan kekhawatiran yang dalam tentang standar kecantikan yang tidak realistis dan menciptakan tekanan pada orang-orang untuk mendapatkan penampilan yang sempurna.
Fenomena Lookism juga dapat mempengaruhi psikologis seseorang dan menyebabkan masalah kejiwaan seperti depresi, gangguan kecemasan, hingga gangguan makan.
Selain itu, representasi media tentang kecantikan yang tidak realistis seringkali memberikan tekanan pada seseorang untuk menjadikan penampilannya sesuai dengan standar kecantikan yang digambarkan oleh media.