Kota Palembang digambarkan sebagai kota yang sangat besar.
Jika memasuki kota tersebut, kokok ayam jantan tidak berhenti bersahut-sahutan (dalam arti kokok sang ayam mengikuti terbitnya matahari).
Kisah-kisah perjalanan mereka penuh dengan keajaiban 1001 malam.
Pelaut-pelaut China mencatat lebih realistis tentang kota Palembang.
Mereka melihat bagaimana kehidupan penduduk kota yang hidup di atas rakit-rakit tanpa dipungut pajak.
Sedangkan bagi pemimpin yang hidup di tanah kering di atas rumah yang bertiang.
Mereka mengeja nama Palembang sesuai dengan lidah dan aksara mereka.
Palembang disebut atau diucapkan mereka sebagai Po-lin-fong atau Ku-kang (berarti pelabuhan lama).
Setelah mengalami kejayaan di abad-abad ke-7 dan 9, maka dalam kurun abad ke-12, Sriwijaya mengalami keruntuhan secara perlahan.
Keruntuhan Sriwijaya itu, baik karena persaingan dengan kerajaan di Jawa hingga pertempuran dengan kerajaan Cola dari India, tak terelakkan setelah bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.
Kerajaan-kerajaan Islam yang tadinya merupakan bagian-bagian kecil dari kerajaan Sriwijaya, berkembang menjadi kerajaan besar seperti yang ada di Aceh dan Semenanjung Malaysia.