"Iya, di sini tradisi tersebut hingga detik ini terus kami kerjakan. Walaupun ada duit hanya kisaran Rp 300.000 atau Rp 500.000, sudah bisa menyajikan makanan dan minuman," tutur Yuliani, salah satu warga.
Dia menambahkan, menu yang disajikan di atas meja juga bukan masuk golongan kelas atas.
Cukup membuat pentolan bakso, kue basah, gorengan bakwan dan es sirup agar menyegarkan kerongkongan.
"Pantauan ini pada dasarnya tidak memaksa, apabila ada dana silahkan memasak, dan kalaupun minim sebaiknya jangan dan ikut makan saja," imbuhnya.
BACA JUGA:Pemkot Dorong Baznas Palembang Terapkan Sistem Payroll Dalam Menghimpun Dana Zakat
Senada, Ridha warga lainnya menuturkan, kalau di sini harus diketahui dulu rumah tetangga lain membuat apa jangan sampai sama.
Sebab, ada yang beda ditanggung lahap makannya.
"Setiap rumah pasti berbeda, hal ini untuk mempermudah tamu yang datang menyantap dan makan sepuasnya, tinggal perut sanggup apa tidak menampungnya," ucap dia sumringah.
Biasanya kalau tradisi pantauan ini, masih kata Ridha, yang datang pertama kali kalau pernikahan adalah pasangan pengantin.
BACA JUGA:UNIQLO Ajak Masyarakat Berpartisipasi dalam Upaya Cegah Polusi Udara
Termasuk muda-mudi yang menemani, setelah itu, barulah kedua keluarga berbondong-bondong menyambangi kediaman warga.
"Hal ini, untuk mempererat hubungan tali silaturahmi, berbincang dan juga semakin mendekat kepada keluarga yang baru terbentuk," tukasnya.
Sementara itu, Tokoh Masyarakat Banjar Negara, Indra Suryansi mengemukakan, tradisi pantauan memang sangat baik terjaga di sini.
Ketika ada pesta pernikahan, kematian ataupun merayakan lebaran, niscaya penduduk akan ramai keluar masuk rumah.
"Bukan hanya menghabiskan makanan semata, tapi maknanya lebih mendalam yakni, mempererat tali silaturahmi, kekompakan, kebersamaan maupun kekeluargaan," urainya.