Ado yang bisa kasih tau da arti tepak ini...” tulis Guru SMA Negeri 9 Palembang yang juga anggota Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Sumsel menimpali membuka diskusi.
BACA JUGA:Beri Pemahaman Sejarah dan Budaya Ke Masyarakat, Museum Negeri Sumsel Gelar Seminar Hasil Kajian
BACA JUGA:Museum Masuk Desa, Cara Cerdas Pemprov Sumsel Lestarikan Warisan Sejarah dan Budaya
Gayung bersambut, pantun yang disampaikan Hariyanto langsung disambar anggota Grup WhatsApp Mirza Fansyuri Tarmizi.
“Tanyo Mang Amin…sano…?” tulis Mirza yang merupakan mantan kepala Dinas Pariwisata Kota Palembang dan Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Palembang era Walikota Eddy Santana Putra.
Mang Amin yang dimaksud Mirza Fansyuri Tarmizi ini tak lain RM Ali Hanafiah yang merupakan budayawan sekaligus Pemangku Adat di Kota Palembang.
Hanya berselang beberapa menit, anggota Grup lainnya, Nelly Watie yang sehari-harinya mengajar sejarah dan menjabat Wakil Kepala Sekolah (Wakasek) Humas di SMA Negeri 12 Palembang ikut berkomentar.
BACA JUGA:Kondisi Terkini Pembangunan Jembatan Musi V Palembang, Jembatan Tol Terpanjang di Indonesia
“Dulu, dalam acara lamaran/tunangan, tepak selalu ada atau dibawa dlm acara tersebut, pake buah pinang yg masih ada tandannya, sirih yg di susun sedemikian rupa, sehingga cantik untuk di lihat, tp sekarang, sepertinya tradisi membawa tepak itu lambat laun sudah menghilang dalam acara lamaran,” tulis Nelly Watie yang juga anggota AGSI Sumsel.
Lalu anggota grup WhatsApp Komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya yang juga penulis dan budayawan, Yudhie Sarofie ikut menimpali.
“Tepak sirih merupakan ekspresi pemilik rumah; penerimaan dengan sukacita terhadap tamunya.
Karena itu, hal pertama yang dihidangkan saat tamu datang adalah tepak.
BACA JUGA:3 Sepatu Badminton yang Tidak Kalah Kuat dari Nike, Adidas, dan Yonex
Wedang dan penganan belakangan (kalau di awal, justru terkesan mengusir).