Seolah didukung oleh alam, sebagian besar wilayah Bumi Sriwijaya memiliki topografi landai hingga bergelombang, sehingga memudahkan pengelolaan perkebunan.
Kombinasi faktor alam, sejarah, infrastruktur, dan dukungan pemerintah menjadikan provinsi ini sebagai salah satu daerah penghasil karet terbesar di Indonesia.
Meski menjadi penghasil karet terbesar di Indonesia, namun menjadi petani yang menggarapnya di provinsi ini pun bukan tanpa kendala.
Harga komoditas karet seringkali fluktuatif di pasar global.
BACA JUGA:Harga Karet Melejit Hingga Tembus Rp12 Ribu per Kg, Petani di OKU Timur Semangat Kembali
Hal ini berakibat pendapatan petani dan perusahaan perkebunan menjadi tidak stabil.
Selain itu, saat ini juga muncul produk karet sintetis yang lebih murah menjadi tantangan yang tidak kalah pelik.
Dari segi iklim, petani harus berjibaku dengan perubahan iklim di bumi ini.
Hal ini juga menjadi salah satu yang mempengaruhi produktivitas tanaman karet.
Sejarah Karet di Indonesia
Di dunia industri, ada dua tipe karet yang dikenal luas, yakni karet alam dan karet sintetis.
Karet alam dibuat dari getah (lateks) dari pohon karet (Hevea brasiliensis), sementara tipe sintetis dibuat dari produk sampingan minyak bumi.
Tanaman Hevea brasiliensis sebagai sumber karet alam berasal dari Brasil, Amerika Selatan.
Tanaman ini masuk ke Indonesia pada abad ke-18 dan mulai dibudidayakan di Sumatera Utara pada tahun 1903 dan di Pulau Jawa pada tahun 1906.
Tanaman karet merupakan tanaman tahunan yang dapat tumbuh sampai umur 30 tahun.