Antara Perpecahan dan Integrasi Sosial, Mahasiswa Universitas Andalas Kupas Plus Minus Politik Identitas
Artikel ini ditulis oleh Muhammad Raihanul Hafidz, mahasiswa jurusan Ilmu Politik Universitas Andalas dengan judul “Politik Identitas : Antara Perpecahan dan Integrasi Sosial".--freepik
KORANPALPRES.COM – Artikel ini ditulis oleh Muhammad Raihanul Hafidz, mahasiswa jurusan Ilmu Politik Universitas Andalas dengan judul “Politik Identitas : Antara Perpecahan dan Integrasi Sosial”.
Salah satu topik terpenting dalam dunia perpolitikan saat ini, termasuk politik Indonesia, adalah politik identitas.
Istilah ini merujuk pada aktivitas kelompok atau individu untuk memperjuangkan hak, posisi, dan pengakuan berdasarkan identitas sosial seperti agama, etnis, ras, dan gender.
Politik identitas sering kali menjadi penyebab perpecahan sosial, meskipun hal ini dapat membantu kelompok-kelompok minoritas yang terpinggirkan untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Hal ini dapat terjadi terutama ketika digunakan sebagai taktik politik untuk menggalang dukungan dengan cara membandingkan identitas kelompok-kelompok yang berseberangan.
Namun, tergantung pada bagaimana para pemain politik dan masyarakat menangani perpecahan ini, politik identitas juga memiliki potensi untuk menjadi alat integrasi sosial.
Di Indonesia, politik identitas telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah politik nasional, dengan banyak peristiwa penting yang menunjukkan bagaimana identitas sosial mempengaruhi dinamika politik.
Salah satu contoh yang paling mencolok adalah Pemilu 2019.
Pemilu tersebut menjadi sangat terpolarisasi, terutama karena perbedaan identitas agama dan politik.
Pada pemilu tersebut, terdapat fenomena di mana para pendukung dua kandidat presiden utama, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, sering kali terpecah berdasarkan identitas agama.
Hal ini memicu perdebatan sengit di ruang publik, bahkan berujung pada pembentukan narasi yang memisahkan kelompok mayoritas dan minoritas.
Salah satu contoh lain dari politik identitas yang nyata adalah demo besar-besaran yang terjadi pada tahun 2016 sebagai tanggapan atas kasus penistaan agama yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Peristiwa ini menunjukkan potensi agama sebagai alat untuk menimbulkan keresahan sosial, pembentukan blok politik, dan mobilisasi massa.
Dalam situasi ini, identifikasi agama berfungsi sebagai senjata politik untuk konsolidasi kekuasaan dan bukannya untuk membina kohesi atau integrasi masyarakat.