Menghapus Jejak Re-Kolonisasi Indonesia Terhadap Kraton Kuto Besak: Desakan Mengembalikan Kuto Besak Ke Masyar
Menghapus Jejak Re-Kolonisasi Indonesia Terhadap Kraton Kuto Besak: Desakan Mengembalikan Kuto Besak Ke Masyar-kolase-
Maka pada tahun 1978, Kuto Lamo diserahkan ke Pemkot Palembang. Yang kemudian dijadikan kantor Depdikbud Kota Palembang.
Selanjutnya tahun 1984 pada bagian atas dijadikan museum SMB II.
Pengembalian Kuto Lamo ke Pemerintahan Kota Palembang secara historis berjalan dengan baik. Tidak demikian halnya dengan Kuto Besak.
Berbagai fakta menunjukkan bahwa berdasarkan UU No 86 tahun 1958 tentang nasionalisasi hanya perusahaan milik Belanda yang dapat dinasionalisasikan dengan memakai konversi hak barat (eigendom).
Namun untuk kasus Kuto Besak hal ini tidak bisa diterapkan karena Kuto Besak bukanlah perusahaan. Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa Kuto Besak bukan juga termasuk tanah aset TNI.
Sebab sejak semula Kuto Besak bukan dimaksud untuk dipakai dalam kegiatan operasi TNI lewat perencanaan penganggaran, pengadaan, pembiayaan, ganti rugi dan sebagainya seperti Permen 24/2005. Oleh sebabnya pada akhir-akhir ini, untuk mensiasati hal ini menggunakan istilah hak pakai.
Selain itu, jika mengacu pada UUPA/1960, mestinya dengan status okupasi tahun 1950 alasan staat van Oorlog en beleg dengan sendirinya tidak berlaku begitu keluar UU 74/1957 yang mencabut status tersebut.
Jika saya bisa menilai, sejak semula keadaan ini dapat dikatakan, bahwa Kuto Besak mengalami re-kolonialisasi, ditempat sebagai bagian dari kolonial.
Dan menurut hemat saya re-kolonisasi atas Kuto Besak ini dilakukan oleh semua elemen, termasuk kita sebagai masyarakat. Karena kita sudah lama membiarkan Kuto Besak dalam wacana bekas bangunan milik kolonial atau aset bekas milik asing (ABMA) yang seolah-olah pantas dianggap sebagai bagian dari okupasi.
Padahal secara historis, Kuto Besak bukanlah bangunan Belanda, tetapi dibangun oleh Kesultanan Palembang Darussalam.
Demikian juga TNI selalu menganggap Kuto Besak merupakan miliki negara, karena di Kuto Besak, TNI menggunakan hak pakai dengan menganggap Kuto Besak sebagai milik Kementerian Pertahanan.
Padahal secara historis, jika ini milik negara dan sejalan dengan maraknya pembangunan serta pariwisata, menurut hemat saya sudah sepantasnya, jika miliki negera, dengan sukarela Kementerian Pertahanan memindahkan hak kepemiliki negara ke pemilik sah dari Kuto Besak ke Pemerintah Kota Palembang atau Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan karena ini adalah Cagar Budaya yang dapat dijadikan aset wisata daerah.
Dulu pada masa Pak Eddy Santana Putra sebagai walikota atau Pak Alex Noerdin sebagai gubernur saya anggap pernah memberi angin segar dalam kasus Kuto Besak.
Namun sayangnya pasca keduanya, hingga saat ini Pemerintah Kota Palembang dan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, saya anggap lebih memiliki jalan aman dan tampaknya lebih menganggap Kuto Besak sebagai bagian dari re-kolonialisasi.
Saran saya, sebaiknya komunitas budaya dan sejarah di Palembang, harus bergerak. Membuat berbagai gerakan terstruktur, sistemik dan masif baik di sosmed maupun aksi sosial dalam mencegah lebih lama lagi re-kolonisasi atas Kuto Besak.