PALEMBANG, KORANPALPRES.COM – Dua tari sambut khas Provinsi Sumatera Selatan atau Sumsel, Tari Gending Sriwijaya dan Tari Tanggai ternyata hingga hari ini belum punya payung hukum yang menaunginya.
Banyak pihak, salah satunya budayawan Sumsel yang juga Ketua Komunitas Batang Hari (Kobar) 9, Vebri Al-Lintani menyayangkan nihilnya niatan pemerintah, baik Provinsi Sumsel maupun Kota Palembang, untuk membuat peraturan tentang posisi kedua Tari Sambut itu.
Vebri menguraikan, cerita para sesepuh tari dalam Buku Tari Tanggai yang pernah dia tulis berdasarkan diskusi di Dewan Kesenian Palembang (DKP) Tahun 2016, memang ada instruksi Gubernur Asnawi Mangku Alam tentang fungsi Tari Gending Sriwijaya yang diperuntukkan untuk menyambut orang pertama dalam satu negara (presiden, perdana menteri, raja dan setingkatnya).
Hanya saja kata Vebri, instruksi Gubernur Asnawi Mangku Alam itu mungkin hanya baru sebatas lisan, sementara instruksi tertulis yang resmi tidak ditemukan.
“Nah di sinilah titik lemah dari kita untuk mengatakan bahwa Tari Gending Sriwijaya tidak boleh digunakan secara sembarangan, karena jika ada yang bertanya apa dasar hukum kita melarang, kita tidak bisa menjawab, karena memang tidak ada,” singgung mantan Ketua DKP ini, Kamis, 18 April 2024.
Apapun bentuk kegiatan resmi di negara ini menurut Vebri, haruslah berdasarkan hukum, atau menurut istilah hukum, harus ada legal standingnya.
“Jika tidak ada legal standingnya maka itu tidak sah secara hukum, apalagi Tari Gending Sriwijaya yang merupakan warisan budaya dari para pendahulu dan mengenang kebesaran sejarah Palembang dan memuat kearifan lokal digunakan sebagai Tari Sambut resmi pemerintahan,” ulasnya.
Lebih lanjut Vebri menjelaskan, Tari Gending Sriwijaya dianggap sah hanya karena ada kebiasan yang sejak Proklamasi Kemerdekaan digunakan sebagai Tari Sambut.
Begitu juga Tari Tepak yang kemudian disebut Tari Tanggai sebagai turunan Tari Gending Sriwijaya dan terlahir karena insiden peristiwa pemberontakan G30S PKI.
Dalam catatan sejarah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel, sambung Vebri, hanya 2 bentuk tari inilah yang dianggap sebagai tari sambut yang sering digunakan.
Seiring sejalan Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang pun kemudian menggunakan kedua tari ini sebagai tari sambut.
Tetapi, setali tiga uang dengan Pemprov Sumsel, Pemkot Palembang tidak kunjung pula membuat dasar hukumnya.
Terlebih, Vebri menegaskan bahwa dasar hukum tentang posisi Tari Sambut sangat penting untuk upaya pelindungan dan pelestarian.
“Jika ada kasus penyalahgunaan fungsi dapat ditegur oleh pemerintah dan masyarakat, begitu pula jika ada yang mengaku-aku pencipta dari salah satu tari sambut tersebut, maka bisa saja kita laporkan sebagai pelangar hak cipta (Plagiator),” cetusnya.
Menurut Vebri, dia menyimpulkan bahwa Tari Sambut Sumsel dapat dikatakan antara ada dan tiada.