Menurutnya, penyebab utama lahirnya politik dinasti karena menguatnya budaya patronase dan klientelistik.
BACA JUGA:Biaya Kuliah di Universitas Swasta Terbaik di Indonesia, Mulai Rp500 Ribu Per Bulan
Sistem politik di Indonesia membuat publik yang menganggap satu orang atau kelompok sebagai patron atau teladan.
Sehingga posisi teladan itu diberikan juga kepada keluarganya termasuk istri, anak, keponakan, menantu dan relasi keluarga lainnya.
“Bagi masyarakat awam yang memposisikan diri sebagai klien lalu akan mengikuti patron tersebut,” ujarnya.
Oleh sebab itulah, politik dinasti merupakan fakta penyelenggaraan negara dan politik praktis yang menjadi tantangan untuk semua warga negara bahwa demokrasi menjadi salah satu alternatif.
BACA JUGA:Cara Cepat Mendapatkan Saldo DANA Gratis Jumat 26 Juli 2024, Cukup Instal Aplikasi Ini!
BACA JUGA:Muara Enim Siaga Karhutla, Pj Bupati Beri Peringatan Keras, Apa Itu?
“Nepotisme seakan menjadi gaya berpolitik yang sangat kental dan menguat. Republik rasa kerajaan atau demokrasi rasa dinasti menjadi bagian dari perpolitikan bangsa ini,” katanya.
Sebab, politik dinasti sudah menjadi model penyelenggaraan kekuasaan yang powerfull dan oligarkis dalam semua level birokrasi dari pusat sampai daerah.
Politik dinasti yang menjadi model pengelolaan negara akan sangat tergantung kepedulian dan kesadaran dari warga yang masih peduli amsa depan demokrasi.
Hadirnya kelompok yang kuat untuk mengontrol dan mengawasi jalannya roda kekuasaan tentu menjadi penting dan utama.
BACA JUGA:BUMN, BUMD dan Swasta Kompak Tanda Tangani Secarik Kertas di Halaman Museum SMB II, Buat Apa Ya?
BACA JUGA:Retribusi Parkir di Dua RS Ini Capai Rp 40 Juta Perbulan, Tapi PAD 0 Rupiah! Kok Bisa?
“Bagi kaum Hegelian dan kawan-kawan kritis lainnya, hadirnya oposisi yang seimbang dalam menjalankan roda kekuasaan akan melahirkan proses sintesis kekuasaan yang lebih baik dan professional,” tutupnya.