Politik identitas cenderung memecah belah masyarakat, sebagian besar karena mereka sering ditampilkan sebagai konflik “kita versus mereka”.
Politik berubah menjadi arena konflik tentang siapa yang berhak mendapatkan lebih banyak hak berdasarkan identitas mereka, bukan pada masalah ideologi atau kebijakan.
Sebagai contoh, identitas agama dan etnis sering dieksploitasi sebagai platform untuk memenangkan dukungan dalam berbagai kampanye politik di Indonesia.
Dengan berargumen bahwa keberadaan kelompok lain mengancam identitas kelompok mereka, beberapa kandidat mungkin berusaha untuk memihak kelompok mayoritas.
Hal ini sering kali menimbulkan ketidakpercayaan, kecemasan, dan bahkan permusuhan di antara kelompok-kelompok, terutama ketika identitas politik dibuat semata-mata atas dasar kepentingan.
Politik identitas memperburuk perpecahan di antara masyarakat dan bukannya menumbuhkan aliansi yang inklusif.
Kondisi serupa juga terlihat di negara lain, seperti Amerika Serikat, terutama selama pemilihan presiden tahun 2016 dan 2020, ketika politik identitas yang berkaitan dengan ras dan agama memicu demonstrasi dan perselisihan antarpribadi.
Namun demikian, politik identitas tidak selalu buruk.
Dalam beberapa situasi, politik identitas dapat menjadi metode untuk memperjuangkan hak-hak minoritas yang tertindas, dan oleh karena itu dapat dijadikan sebagai instrumen integrasi sosial.
Salah satu contoh yang terkenal adalah gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat pada tahun 1960-an, ketika organisasi-organisasi kulit hitam menggunakan politik identitas untuk mendorong kesetaraan ras.
Meskipun pada awalnya gerakan ini memperburuk ketegangan sosial, pada akhirnya gerakan ini berhasil membawa perubahan kebijakan yang substansial, inklusif, dan egaliter di negara tersebut.
Politik identitas juga dapat digunakan di Indonesia untuk menyuarakan keprihatinan tentang keadilan sosial bagi kelompok-kelompok yang kurang terwakili, termasuk kelompok minoritas agama dan masyarakat adat.
Jika ditangani dengan baik, politik identitas dapat menjadi landasan bagi terciptanya ruang diskusi masyarakat yang terbuka, di mana orang-orang dari berbagai identitas dihargai dan keragaman dipandang sebagai aset, bukan sebagai beban.
Ada beberapa pendekatan yang lebih inklusif yang diperlukan untuk menjadikan politik identitas sebagai alat integrasi sosial.
Pertama dan terutama, ada kebutuhan untuk memprioritaskan pendidikan politik yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan sosial dan keragaman.
Melalui pendidikan ini, masyarakat didorong untuk melihat perbedaan identitas sebagai peluang untuk saling memperkaya dan bukan sebagai penyebab konflik.