Selain itu, praktik politik uang atau "money politics" menjadi fenomena yang sulit diberantas sepenuhnya, mengingat masih kuatnya ketergantungan masyarakat terhadap figur-figur pemimpin yang menawarkan bantuan material atau jasa tertentu.
Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun struktur politik telah berubah secara formal, nilai-nilai lama dalam budaya politik masih terus bertahan dan menjadi tantangan bagi konsolidasi demokrasi.
Di sisi lain, budaya politik juga mencerminkan keragaman dalam respons masyarakat terhadap demokrasi.
Ada kelompok masyarakat yang sangat aktif dalam mengawasi kebijakan pemerintah, misalnya melalui media sosial atau gerakan sosial, tetapi ada juga yang apatis atau bahkan skeptis terhadap politik.
Apatisme politik sering kali muncul karena ketidakpercayaan terhadap elite politik yang dianggap korup atau tidak peduli pada kepentingan rakyat.
BACA JUGA:Ucapkan Selamat Hari Pers Nasional, Wapres Pesan Pers Indonesia Tetap Jadi Pilar Keempat Demokrasi
BACA JUGA:Pj Wako Ingatkan Kembali Bulan Demokrasi Ini, Netralitas ASN Harus Dijaga
Sikap ini, meski dapat dimengerti dalam konteks kekecewaan masyarakat, pada akhirnya dapat melemahkan partisipasi politik yang sehat.
Dalam demokrasi, keterlibatan masyarakat sangat diperlukan untuk memastikan bahwa kekuasaan dijalankan secara transparan dan akuntabel.
Budaya politik yang kuat dan sehat harus ditopang oleh kesadaran politik yang tinggi di kalangan masyarakat.
Di Indonesia, pendidikan politik sering kali menjadi tantangan. Banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami hak dan kewajiban politik mereka, atau bahkan cara kerja sistem politik itu sendiri.
BACA JUGA:Mewujudkan Inklusivitas Demokrasi: Transformasi Sistem Pencalonan Presiden Indonesia
Pendidikan politik yang berkelanjutan, baik melalui institusi formal seperti sekolah maupun melalui media dan organisasi masyarakat sipil, sangat diperlukan untuk memperkuat fondasi demokrasi.