Senada dengan Ade, praktisi hukum Mualimin Pardi Dahlan menilai bahwa masyarakat belum memahami bahwa politik uang adalah pelanggaran hukum serius.
BACA JUGA:Tenang dan Penuh Percaya Diri, Kunci Sukses Cik Ujang di Debat Kedua Pilgub Sumsel 2024
BACA JUGA:Dinilai Pegang Janji, Warga Kedaton Kayuagung Sepakat Menangkan MATAHATI di Pilgub Sumsel 2024
Bahkan, fenomena ini berubah menjadi perlombaan antar-warga untuk membandingkan isi amplop.
Bagi masyarakat tutur Mualimin, ini menjadi ajang kompetisi—di tempat ini amplop berisi Rp50 ribu, di tempat lain Rp100 ribu.
"Mereka tidak sadar bahwa ini adalah persoalan hukum," tudingnya.
Menurut dia, peran Bawaslu sangat penting dalam menindak fenomena ini.
BACA JUGA:Ojol Sumsel Bersatu Menyatakan Sikap Dukungan ke MATAHATI di Pilgub Sumsel 2024
BACA JUGA:Kukuhkan Relawan KOMPASA, Mawardi Yahya Diyakini Menang di Pilgub Sumsel 2024
Jika ditemukan bukti yang cukup, kasus ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), yang seharusnya berujung pada diskualifikasi pasangan calon terkait.
"Jika benar ada isu sebanyak 3,3 juta amplop yang beredar, ini adalah pelanggaran TSM. Konsekuensinya, kemenangan paslon tersebut harusnya dianulir," tegasnya.
Bahkan jika hal itu dapat dibuktikan, maka dia menyebutkan bahwa kemenangan pasangan Herman Deru dan Cik Ujang (HDCU) adalah kemenangan yang bersifat prosedural, bukan berdasarkan visi-misi atau keinginan masyarakat.
"Herman Deru mungkin bisa mengklaim ini kemenangan Sumsel, tetapi pada dasarnya ini hanyalah kemenangan prosedural yang didorong oleh mobilisasi suara, bukan karena gagasan besar," tukas Mualimin.
BACA JUGA:Debat Perdana Pilgub Sumsel Sentil Isu Pelabuhan Tanjung Carat, ini Kata Cagub Herman Deru!
BACA JUGA:Ulangi Sukses Pilgub Sumsel 2018, HDCU Siap Rebut Perolehan 80 Persen Suara di Prabumulih
Sementara itu, pengamat politik Bagindo Togar menyoroti bahwa politik uang menunjukkan masih dominannya praktik politik primitif di Pilgub Sumsel.