“Tidak beragama atau tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dinilai sebagai kebebasan beragama atau kebebasan menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” ucap Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan putusan.
BACA JUGA:Pembatasan Masa Jabatan Anggota Dewan Legislatif dalam Perspektif Demokrasi Konstitusional
BACA JUGA:Hadiri HAB Kemenang ke 79, Pj Bupati Lahat: Penguatan Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama
Pertimbangan MK menolaknya Apa?
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah mengatakan bahwa setiap warga negara "harus" menyatakan memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Itu disebut sebagai "keniscayaan sebagaimana diharapkan oleh Pancasila dan diamanatkan oleh konstitusi".
Arief kemudian mengatakan bahwa setiap warga negara hanya diwajibkan menyebut agama dan kepercayaannya untuk dicatat dan dibubuhkan dalam data kependudukan tanpa ada kewajiban hukum lain yang dibebankan oleh negara.
Perihal UU Perkawinan yang tidak mengakomodasi hak warga yang tidak beragama, MK berpandangan bahwa perkawinan tidak lepas dari prinsip dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
"Dengan tidak adanya ruang bagi warga negara Indonesia untuk memilih tidak menganut agama atau tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan YME, maka norma hukum positif yang hanya memberikan pengesahan terhadap perkawinan yang dilakukan menurut norma agama dan kepercayaan masing-masing bukanlah norma yang menimbulkan diskriminatif," kata Arief.