Berikut ini tradisi masyarakat Tidung di Nunukan dalam menyambut bulan Ramadan.
Manjalikur
Tradisi Manjalikur biasanya diadakan mulai dari pertengahan bulan Syaban penanggalan hijriah.
Dalam bahasa Tidung, Manjalikur berarti bergembira atau bersuka cita karena dipertemukan dengan bulan mulia dan istimewa.
BACA JUGA:Selain Nyekar, Ini 7 Tradisi Sambut Ramadan di Jawa Timur
Saat Manjalikur, warga Tidung melakukan arwahan yaitu membaca Tahlil bergiliran dari rumah ke rumah. Dimulai dari rumah imam, terus berpindah ke rumah warga suku Tidung lainnya.
‘’Beberapa hidangan yang wajib tersedia. Ketan, inti kelapa (kelapa parut) yang dicampur gula merah, dan telur,’’ jelas Arba’in.
Hidangan wajib itu ternyata punya filosifi cukup kental di adat istiadat Tidung. Ketan yang bertekstur lengket menggambarkan persatuan Suku Tidung. Mereka selalu hidup berkelompok, dan sangat menjaga kebersamaan.
Sementara kelapa yang telah diparut dan dilumuri gula merah, diartikan sebagai silaturahmi antar sesama dengan membina hubungan persaudaraan yang harus manis dan lezat, sehingga tidak ada iri, dengki dan saling menyakiti.
Sedangkan telur, melambangkan awal mula kehidupan dan bermakna semua makhluk diciptakan dari sumber yang sama. Sehingga siapa pun dia, setinggi dan sehebat apapun kedudukannya di dunia, tetap ada tangan yang menggerakkan, dan takdir yang mampu mengangkat serta menjatuhkannya.
‘’Maka kita semua wajib ingat pencipta, sang khaliq, Allah Subhanahu Wata’ala. Caranya adalah perbaiki hubunganmu dengan manusia, maka hubungan dengan sang pencipta tentu akan baik juga,’’ jelas Arba’in.
Magong
Tradisi Magong biasanya dikerjakan pada malam 1 Ramadan. Menurut Suku Tidung Magong yang memiliki arti bertenang dan bertafakkur, merenungi dosa dan muhasabah diri/instropeksi.
Pada zaman dulu, warga Tidung akan membuat lampu pelita dari bahan bambu betung dengan bentuk huruf ‘T’. Pelita itu dipasang di gerbang desa, di sepanjang jalan menuju surau, musala, dan masjid.