Ibnu Batutah bercerita bahwa penguasa Samudra Pasai adalah seorang muslim saleh yang bernama Sultan Al-Malikul Zahir Jamaludin.
Sultan ini rajin beribadah dengan tekun, dan kerap memerangi kaum penyembah berhala di kawasan itu.
Ibnu Batutah meriwayatkan bahwa Pulau Sumatra kaya akan kapur barus, biji pinang, cengkih, dan timah. Muslim di sana bermazhab Syafi’I dan amalan-amalan umat Muslim Samudra Pasai mirip dengan amalan-amalan yang pernah ia lihat di kawasan pesisir India.
BACA JUGA:Sultan Palembang Akui Pentingnya Menjaga Arsip demi Mengetahui Sejarah Masa Lampau
Ibnu Batutah lalu berlayar selama 21 hari ke sebuah tempat yang disebut "Mul Jawa" (pulau Jawa) yang kala itu merupakan pusat sebuah kekaisaran Hindu.
Ia berjumpa dengan penguasa Mul Jawa dan dijamu sebagai tamu selama tiga hari.
Kemudian Ibnu Batutah berlayar ke sebuah kerajaan bernama Kailukari di Negeri Tawalisi, tempat ia berjumpa dengan Urduja, seorang putri pribumi.
Lokasi Kailukari maupun Tawalisi masih diperdebatkan. Kailukari mungkin Po Klong Garai di Campa (sekarang kawasan selatan Vietnam), dan Urduja bisa jadi adalah salah seorang bangsawati Campa dari wangsa Trần.
Masyarakat Filipina malah yakin Kailukari adalah daerah yang kini menjadi Provinsi Pangasinan di negara Filipina.
Kemenangan perang atas Mongol menunjukkan 2 kemungkinan lokasinya: Jepang dan Jawa (Majapahit).
Pada tahun 1346, ia berniat pulang ke kampung halamannya. Batutah memulai perjalanan pulang dari Beijing. Setelah selama empat tahun melalui perjalanan darat dan pelayaran laut, ia kembali ke kampung halamannya Tangier di Maroko.
Setelah kembali ia baru sadar bahwa ia telah pergi berkelana selama 24 tahun. Bayangkan saja ia pada umur 21 tahun dan kembali pada umur 44 tahun. Benar-benar sebuah perjalanan yang mengesankan.
BACA JUGA:Sultan Palembang dan Praktisi Hukum Sumsel Turun ke Jalan, Desak Israel Segera Diadili
Pada tahun 1354, Batutah setelah kembali ke tanah kelahirannya, ia menetap di Kota Fez. Di sana ia berteman baik dengan sultan.
Sang Sultan mengagumi perjalanan Batutah itu. Sultan memintanya menuliskannya ke dalam sebuah buku yang kemudian terkenal di antara para penjelajah, berjudul Rihla atau My Travel.