Kuliner khas Yogyakarta yang satu ini bisa dengan mudah dinikmati pada pagi, siang, atau malam hari.
Gudeg tidak hanya disajikan di restoran-restoran besar, bisa juga dibeli dari pedagang kaki lima atau pedagang pasar dan paling enak disantap sambil bersantai di tanah dan menikmati suasana Kota Jogja.
Siapa sangka ternyata para pekerja kuliner khas kota pelajar, gudeg Jogja ini memproduksinya saat Kerajaan Mataram sedang dibangun di Alas Mentaok.
Pohon buah-buahan banyak ditebang ketika kerajaan Mataram Islam pertama kali didirikan di wilayah Kotagede, khususnya di Alas Mentaok, sekitar tahun 1500, demikian laman National Geographic.
BACA JUGA:Dorong Kesejahteraan Ayam dan Itik Petelur: Inisiatif Animal Friends Jogja untuk Diskusi Terpumpun
Diantaranya adalah banyaknya pohon nangka muda (gori) dan kelapa (Melinjo) yang ada di lingkungan sekitar.
Pohon-pohon tersebut ditebang karena ketersediaannya tetap konstan dan dianggap memiliki nilai pasar yang kecil.
Selain itu, karena barang-barang pertanian dipandang mempunyai nilai pasar yang lebih besar, maka penjajah Belanda lebih berkonsentrasi pada barang-barang tersebut.
Karena itu, para pekerja dan masyarakat sekitar semakin kreatif dalam mengolah dan membuat resep yang menggunakan nangka muda atau gori sebagai bahan utamanya.
BACA JUGA:4 Rekomendasi Tempat Wisata Jogja yang Hits dan Instagramable 2023
Salah satunya adalah gori sayur yang dimasak berjam-jam antara 12 hingga 15 jam di dalam kuali besar hingga tekstur gori menjadi sangat lembut.
Tentu saja, bumbu lainnya juga disertakan seperti santan, gula aren, bawang merah, bawang putih, ketumbar, lengkuas, dan daun salam.
Hingga akhirnya, buah nangka dihasilkan dalam bentuk potongan-potongan berwarna coklat yang lembut dengan rasa yang nikmat.
Karena bagian memasaknya diperuntukkan bagi ratusan pekerja, maka selama proses pembuatannya harus terus diaduk menggunakan sendok kayu besar.
BACA JUGA:Vibesnya Jogja Banget, Makan di Tengah Sawah Jadi Teringat Kampung Halaman
Cara mengaduk ini dikenal dengan istilah hangudek atau hangudeg dalam bahasa Jawa.