Diterangkannya lagi dalam kasus hadis tentang penentuan awal bulan hijriyah, ilatnya ialah kondisi umat pada saat itu masih belum mengenal tulis baca dan hisab (ummi).
Sehingga untuk memudahkan Nabi saw memerintahkan sarana yang tersedia saat itu, yaitu rukyat.
Rahmadi menambahkan bahwa rukyat bukan bagian dari ibadah mahdlah, melainkan alat untuk menentukan waktu.
BACA JUGA:Ramadan 2024 sebentar lagi, Tahukah kamu dari Mana Kata Puasa Berasal? Ternyata Ini Asal Bahasanya
Sehingga sebagai alat, rukyat dapat diubah dengan model penghitungan secara eksak demi tercapainya suatu tujuan.
Lagi pula, dalam hadis Nabi Saw tentang penentuan awal bulan, yang menjadi ibadah mahdlah adalah puasa, bukan rukyat.
“Saya kira persoalan ini banyak sekali ditulis para ulama kontemporer seperti Syaikh Yusuf Al Qaradlawi dan Prof Syamsul Anwar bahwa rukyat bukan ibadah.
Artinya, ia hanya sarana, sehingga tidak melakukan rukyat, tidak melanggar syariat,” ucap Rahmadi seperti dilansir dari laman tadi.
BACA JUGA:Jangan Lupa Puasa Qadha, Ramadan 2024 Sebentar Lagi! Cek Niat dan Tata Caranya
Karena rukyat tidak dipakai, maka Muhammadiyah lebih memaksimalkan peran hisab dengan kriteria hisab yang digunakan ialah hisab hakiki wujudul hilal.
Kriteria dengan metode ini adalah telah terjadi ijtimak (konjungsi); pada saat terbenam matahari, bulan belum terbenam; dan pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk.
Menjadikan keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam sebagai kriteria mulainya bulan kamariah baru merupakan abstraksi dari perintah-perintah rukyat dan penggenapan bulan tiga puluh hari bila hilal tidak terlihat.
Nah, tulisan ini bukan untuk membuat kita bertentangan, tetapi mencari pengetahuan mengapa ada perbedaan dalam penentuan awal bulan Qamariah, terutama bulan Ramadan. *