Pada masa Perang Dunia I (1914-1918), penguasa Saudi untuk berkoalisi dengan Inggris.
Dan runtuhnya Dinasti Ottoman selama Perang Dunia II membawa Abdulaziz dari Kerajaan Arab Saudi memenangkan kendali atas seluruh Najd dan Hijaz.
Itu termasuk Makkah dan Madinah pada tahun 1344 H/1926 M.
Sejak saat itulah, Masjid Nabawi berada di bawah cakupan pemerintahan Saudi, dan salat tarawih dilaksanakan dalam format dua puluh rakaat.
Sepanjang pemerintahan Saudi modern keberlanjutan salat tarawih dalam format dua puluh rakaat terus bertahan.
Dinamika politik dan kekuasaan boleh berubah, tradisi salat tarawih tetap konsisten dengan format yang diadopsi pada awal pemerintahan Saudi.
Perubahan pada tingkat geopolitik tidak menggoyahkan fondasi praktik ibadah ini.
BACA JUGA:11 Hikmah dan Manfaat Puasa di Bulan Ramadan, Baik Spiritual Hingga Kesehatan!
Jadi, memilih praktik dari masa Nabi sebagai contoh bukanlah sekadar nostalgia.
Tetapi merupakan panggilan untuk kembali pada akar tradisi yang bersumber dari ajaran beliau.
Bukankah Nabi bersabda, “shallau kama raaytuuni ushalli” (sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatku, Nabi Saw, salat!).
Ini menegaskan pentingnya mengikuti jejak langkah beliau yang terpasang dalam delapan rakaat salat tarawih dan tiga rakaat witir total sebelas rakaat. *