Menghapus Jejak Re-Kolonisasi Indonesia Terhadap Kraton Kuto Besak: Desakan Mengembalikan Kuto Besak Ke Masyar

Kamis 07 Mar 2024 - 21:14 WIB
Reporter : Dedi Irwanto
Editor : M Iqbal

Sedangkan Kuto Lamo (eks Kantor Residen) dijadikan kantor kepala koordinator pemerintahan sipil (gunseibu) Palembang yang dijabat oleh seorang Syu-Cookan Letnan Jenderal Myako Tosio.

Artinya, ketika masa pendudukan Jepang di Palembang, Kuto Besak tetap dijadikan benteng militer seperti masa kolonial Belanda. Pada masa revolusi fisik, 1945-1949, Kuto Besak tetap terpenjara sebagai benteng ketika Amacab sebagai pasukan sekutu dibawah pimpinan Letnan Kolonel Carmichel menempati Kuto Besak.

Setelah Sekutu pergi dari Palembang 9 November 1946, tentara Belanda NICA tetap menjadikan Kuto Besak sebagai benteng sampai pengakuan kedaulatan akhir 1949.

Re-Kolonialisasi Kuto Besak

Pasca pengakuan kedaulatan tahun 1950, disebabkan bangsa Indonesia secara normal baru dapat membangun dengan utuh dalam keadaan staat van oorlog en beleg.

Negara membutuhkan lahan yang banyak, baik untuk markas militer, pangkalan senjata hingga perumahan militer. Untuk mendapatkan dan memperoleh lahan dalam memenuhi kebutuhan tersebut, maka Tentara Nasional Indonesia (TNI) melakukan okupasi terhadap aset bekas milik asing (ABMA).   

Okupasi oleh TNI tersebut dalam prakteknya, tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Artinya, tidak ada yang menjadi dasar hak penguasaan, perolehan, dan pengelolaan atas tanah bangunan.

Terutama tanah-tanah bekas hak-hak barat, termasuk tanah peninggalan eks KNIL Belanda. Seperti tanah bekas peningggalan tentara belanda, markas-markas kompi NICA. Termasuk benteng-benteng pertahanan tentara kolonial Belanda pada saat menjajah di Indonesia.

Kasus serupa terjadi dengan Kuto Besak. Yang di okupasi oleh TNI untuk dijadikan markas Tentara Teritorium (TT) II/Sriwijaya yang dibentuk berdasarkan SK KASAD No. 83/KSAD/PATI/1950 tanggal 29 Juli 1950. Panglima TT II/Sriwijaya waktu itu, Kolonel Bambang Utoyo berkedudukan di Kuto Lamo. Sedangkan pasukan TT II/Sriwijaya menempati Kuto Besak.

Pada 1 Februari 1961 sempat terjadi perubahan ketika TT II/Sriwijaya berubah menjadi Kodam IV/Sriwijaya (12 Februari 1985 menjadi Kodam II/Sriwijaya). 

Kuto Lamo yang menjadi markas komando dijadikan sebagai markas resimen baru yang dibentuk Rindam IV Sriwijaya. Namun sejalan dengan mulai banyaknya dibangun sekolah catam dan secaba di berbagai rindam Sriwijaya, baik di Kota Palembang, Lahat, maupun Muara Enim.

Maka pada tahun 1978, Kuto Lamo diserahkan ke Pemkot Palembang. Yang kemudian dijadikan kantor Depdikbud Kota Palembang.

Selanjutnya tahun 1984 pada bagian atas dijadikan museum SMB II. 

Pengembalian Kuto Lamo ke Pemerintahan Kota Palembang secara historis berjalan dengan baik. Tidak demikian halnya dengan Kuto Besak.

Berbagai fakta menunjukkan bahwa berdasarkan UU No 86 tahun 1958 tentang nasionalisasi hanya perusahaan milik Belanda yang dapat dinasionalisasikan dengan memakai konversi hak barat (eigendom).

Namun untuk kasus Kuto Besak hal ini tidak bisa diterapkan karena Kuto Besak bukanlah perusahaan. Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa Kuto Besak bukan juga termasuk tanah aset TNI.

Kategori :