ARTIKEL KURMA: Dilema Ibu Hamil dan Menyusui: Qadha atau Fidyah?

keputusan untuk melaksanakan qadha atau fidyah seorang ibu hamil dan menyusui dikembalikan kepada kondisi masing-masing--Sumber Foto: Freepik
Secara umum, setiap orang yang meninggalkan puasa dikenai kewajiban untuk mengganti puasanya di hari lain.
Adapun bagi yang merasa berat atau susah payah untuk mengganti puasanya itu, mereka wajib untuk membayar fidyah.
Ketentuan ini telah tercantum jelas dalam QS. Al-Baqarah: 184. Ayat tersebut menjelaskan "Dan barangsiapa di antara kamu yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain."
BACA JUGA:ARTIKEL KURMA: Harmonisasi Keluarga Dalam Menjalankan Ibadah Puasa
BACA JUGA:ARTIKEL KURMA: Hakikat Ketakwaan Kepada Allah SWT
Secara eksplisit, ibu hamil dan ibu menyusui tidak disebutkan di dalam ayat tersebut, namun jumhur ulama sepakat bahwasanya ibu hamil dan ibu menyusui diqiyaskan pada orang yang sakit.
Ini dikarenakan kondisi mereka yang dianggap lemah seperti orang yang sedang sakit.
Selain itu, puasa juga dapat berdampak pada kesehatan diri dan anaknya sehingga mereka dibolehkan mendapat rukhshah untuk tidak berpuasa.
Al Jashshosh dalam kitabnya Ahkamul Qur’an mengatakan bahwa para ulama salaf berbeda pendapat terkait masalah qadha serta fidyah bagi ibu hamil dan menyusui terbagi menjadi tiga.
BACA JUGA:ARTIKEL KURMA: Menebar Kebaikan di Bulan Ramadan, Meraih Berkah dan Keberkahan
BACA JUGA:ARTIKEL KURMA: Puasa Antara Kualitas dan Formalitas
Golongan pertama, berpandangan bahwa ibu hamil dan menyusui wajib melaksanakan qodho’ saja jika keduanya tidak berpuasa, namun tidak perlu membayar fidyah. Pandangan ini dianut oleh Imam Hanafi.
Golongan kedua, berpendapat bahwa keduanya hanya membayar fidyah, tanpa perlu melakukan qodho’. Pendapat ini dianut oleh madzhab Hanbali, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Umar.
Sedangkan golongan ketiga, berpandangan bahwa keduanya wajib melaksanakan qodho dan membayarkan fidyah. Pandangan ini dianut oleh Imam Maliki dan Syafi’I.
Di samping itu, Ibn Qudamah membedakan hukumnya pada kondisi wanita tersebut.