ARTIKEL: Perilaku Kepemimpinan Demang Lebar Daun dalam Naskah Sejarah Melayu
Artikel Perilaku Kepemimpinan Demang Lebar Daun dalam naskah sejarah melayu ditulis Kms H Andi Syarifuddin-Foto: Ist for koranpalpres.com-
Dan di Bukit Seguntang itu dituggu dua orang perempuan rangda tua kerjanya berhuma, dan humanya itu benian segantang, daripada itulah jadi nama bukit itu Seguntang.
BACA JUGA:Siapkan Dirimu Menyambut Ramadan 1445 H, Sudahkah Kamu Bayar Hutang Puasa?
Maka nama perempuan itu Wan Puk dan seorangnya Wan Madini, maka terlalu lebat buah padinya itu”.
Selanjutnya dalam Sulalat as-Salatin dikisahkan, terdapat tiga orang anak Raja Suran yang diasuh Raja Aktabul Ard yang merupakan anak cucu Raja Iskandar Zulkarnain, zuriat Nabi Sulaiman As, melalui Raja Nusyirwan raja Masyrik dan Maghrib turun ke dunia dengan kendaraan lembu putih tiba di Bukit Seguntang.
Kemudian dengan menampakkan berbagai karomah, akhirnya mereka diterima oleh Demang Lebar Daun Raja Palembang.
Ketiga anak raja tersebut masing-masing bernama Nila Pahlawan bergelar Sang Sapurba kemudian menjadi Raja Minangkabau, Kasran Pandita kemudian menjadi Raja Tanjung Pura Riau, dan Nila Utama bergelar Sri Tri Buana kemudian menjadi Raja Palembang dan menikah dengan puteri Demang Lebar Daun.
BACA JUGA:Terapkan Saat Ramadan 2024! 3 Waktu Mustajab Terkabulnya Doa Saat Puasa
Sri Tri Buana inilah yang dianggap sebagai pendiri Kerajaan Melayu di Nusantara (Sejarah Melayu hal: 6).
Perilaku Kepemimpinan Demang Lebar Daun
Dalam tradisi politik Melayu, raja merupakan figur dan lembaga yang terpenting.
Raja dianggap sebagai orang yang mulia dan mempunyai berbagai kelebihan. Dalam “Sejarah Melayu” mendudukkan raja setingkat dengan nabi dan sebagai pengganti Allah di muka bumi.
BACA JUGA:Kegiatan Sosial Selama Ramadan 2024, Umat Muslim Perlu Siapkan Diri, Ini yang Bisa Dilakukan!
Nampaknya, konsep yang menyatakan raja merupakan bayangan Tuhan di muka bumi diyakini bersumber dari agama.
Pernyataan ini tentunya dimaksudkan untuk memperkuat alasan menggunakan gelar raja sebagai bayangan Tuhan di bumi.
Gelar ini pula tetap berpengaruh dan menjadi konsep kesultanan-kesultanan Melayu (Rahim, 1998: 19-20).