Tak Tanggung-Tanggung! Museum Negeri Sumsel Langsung Gandeng 7 Narasumber, Buat Apa Ya?

Kepala Disbudpar Sumsel Aufa Syahrizal (empat dari kiri) dan Kepala Museum Negeri Sumsel Chandra Amprayadi serta jajaran berfoto bersama 7 narasumber kajian koleksi yang berkaitan dengan keberadaan marga di Sumsel.--museum negeri sumsel for koranpalpres.com

Sementara itu, Kepala Museum Negeri Sumsel H Chandra Amprayadi SH Chandra mengatakan, kajian ini sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan tentang keberadaan marga di Sumsel ini.

Adapun beberapa koleksi Museum Negeri Sumsel yang berkaitan langsung dengan keberadaan marga di Bumi Sriwijaya ini, Chandra merinci, antara lain Pedati milik Pangeran A Wancik, Depati Kedaton di Peninjauan, Ogan Komering Ulu (OKU).

BACA JUGA:Kemendikbudristek Kumpulkan Kepala Dinas Kebudayaan Se-Sumsel, Kira-Kira Bahas Apa Ya?

BACA JUGA:Ditemukan di Sungai Musi, Trisula Kerajaan Sriwijaya Jadi Koleksi Terbaru Museum Negeri Sumatera Selatan

Kemudian beberapa hibah beberapa benda bersejarah milik Pangeran Krama Jaya dari Ogan Komering Ilir (OKI) dan milik Pangeran Kunto dari Pemulutan, Ogan Ilir (OI).

“Bahkan kami membuat satu ruangan khusus untuk memamerkan sejumlah barang bersejarah milik keturunan Pangeran A Wancik dan masyarakat Kedaton, serta keluarga Pangeran Krama Jaya,” tutur Chandra.

Dia juga menceritakan hasil penelusurannya ke sejumlah daerah di Sumsel untuk mengetahui dari dekat bagaimana jejak-jejak marga ini.

"Sebenarnya dalam catatan sejarah, marga ini tidak digunakan pada saat Kesultanan Palembang, namun baru digunakan sekitar tahun 1860-an oleh Penjajah Belanda," ungkap Chandra.

BACA JUGA:Berkaitan Hari Bahasa Ibu Internasional, Bahasa Besemah Bisa Punah Jika Tidak Dijaga

BACA JUGA:5 Negara di Dunia yang Menggunakan Bahasa Jawa dalam Kehidupan Sehari-hari, Bukan Hanya Indonesia!

Menurut sejarah pula sambung Chandra, sistem marga ini awalnya digunakan oleh pihak Belanda untuk memecah belah masyarakat terutama di Sumsel untuk kepentingan politik dan pemerintahan.

"Marga ini digunakan sebagai alat Belanda untuk mengatur masyarakat pribumi, agar dapat dipecah belah dan mudah untuk dikendalikan," tuturnya.

Untuk sistem pemilihan pemimpin marga urai Chandra, juga beragam mekanisme.

Bukan hanya pemilihan secara langsung oleh masyarakat sehingga terlihat jelas bagaimana pengkotak-kotakan terjadi dan sengaja diciptakan oleh penjajah Belanda.

BACA JUGA:Melestarikan Dulmuluk, Zulkarnain Peduli Budaya Bikin Kolam Pemancingan Jadi Panggung Dadakan

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan