Hanya saja imbuh Ali Goik ada hal yang menarik mereka temukan sebagai fakta berkenaan konflik antara gajah dan masyarakat di OKI.
BACA JUGA:Keren Banget!! 7 Rekomendasi Jam Tangan Quartz Chronograph Pria
BACA JUGA:5 Merek Jam Tangan Jepang yang Terjamin Kualitasnya, Bikin Tampilan Berkelas!
Jika dulu sambung Ali, masyarakat menghalau gajah, cukup dengan kata-kata simbah ojo mlebuh niki rumah cucumu atau mbak tinggali makan untuk cucumu, maka gajah akan segera pergi.
"Namun kalau sekarang untuk menghalau gajah, masyarakat kita harus dengan berbagai cara dan berganti strategi, misal kalau bulan depan harus pakai tetabuan kaleng, bulan berikutnya perlu percon demikian seterus”, tukasnya.
Senada budayawan Vebri Al-Lintani yang juga ikut tergabung dalam Tim Puskass ini.
Vebri Al-Lintani mengaku secara lugas bahwa dirinya merasakan dan turut bempati pendapat masyarakat.
BACA JUGA:Berjibaku Melawan Arus Banjir, Babinsa Kodim Muara Enim Selamatkan Petani, Begini Ceritanya
BACA JUGA:Inilah 10 Merek Jam Tangan Jepang, Canggih dan Berkualitas , Harganya Terjangkau
Menurut Vebri, pada masa lalu ada harmonisasi antara kehidupan gajah dan manusia di Sumatera Selatan.
“Gajah itu hewan cerdas, ia merasa terganggu kalau diusik," cetusnya.
Vebri mencontohkan tokoh Si Dasir dalam tradisi lisan Sumsel yang mati karena mengusik gajah.
Selain itu sambung Vebri, dalam sejarah Raja Sriwijaya, disebutkan Shih-ling-chia dikatakan menaiki gajah jika melakukan perjalanan jauh.
BACA JUGA:Bangga, Anggota Kodim Lahat di Ganjar Reward ke Tingkat Nasional, Untuk Kategori Ini Lho
Hal ini jelas Vebri menunjukkan bahwa sejak masa lampau gajah Sumatera sudah mendukung kehidupan manusia di Sumatera Selatan, bukan berkonflik.