BACA JUGA:Dianggap Punya Risiko Privasi, Pemerintah Belanda Akan Berhenti Menggunakan Facebook
Lantaran menurut dia, tidak sedikit kawan-kawannya pernah menginap di hotel tersebut mengalami sakit lantaran tidur tidak sopan.
“Dianjurkan tidur di sini harus berpakaian yang sopan dan menutup aurat,” tukasnya.
Dan kini dalam hotel tersebut yang tinggal hanyalah foto Raden Nangling dan lemari zaman dulu.
Sejarawan Kota Palembang Kemas Ari Panji menambahkan, kawasan 17 Ilir ini adalah sebuah wilayah yang zaman Kesultanan Palembang disebut Goegoek Ketandan atau Goegoek Sayangan.
BACA JUGA:Bukan Palembang! Inilah 7 Kota Tersempit di Indonesia, Amazing Salah Satunya Cuma 11,47 Km2
BACA JUGA:5 Parfum Arab Koleksi Hamidi Oud & Perfumes yang Menjunjung Nilai-nilai Tradisional
Lebih jauh Ari Panji merinci bagaimana mula-mula penggunaan kata Ketandan dan Sayangan.
Dalam catatan Kesultanan Palembang Darussalam, Ketandan adalah Guguk dari Bendahara, pemungut pajak zaman Kesultanan Palembang Darussalam.
Sedangkan Sayangan itu imbuh Ari Panji, adalah guguk tempat pengrajin tembaga.
“Secara administrasi, wilayah 17 Ilir ini mulai dari simpang Pasar Burung terus ke Jalan Kol Atmo sampai ke Kuburan Raden Nangling, depan Pasar Cinde dan sedikit melebar ke arah jalan Sayangan (Pasar Buah),” urai dosen UIN Raden Fatah Palembang ini.
BACA JUGA:Pagaralam Tidak Termasuk 10 Besar Kenaikan Inflasi
BACA JUGA:Ini 10 Mata Uang Terkuat di Dunia pada Tahun 2024
Untuk wilayah Kelurahan 17 Ilir ini menurut Ari Panji, memang sejak dahulu dikenal sebagai pusat kota dan pusat perdagangan di kota Palembang.
“Di 17 Ilir ini sendiri dikenal sebagai pusat perdagangan, maka di zaman modern saat ini ada pasar buah, ada pasar burung, Pertokoan Gaya Baru, toko serba adanya di Palembang,” cetus Ari Panji.
Hal tersebut timpal Ari Panji, sudah berlaku sejak lama dan di zaman Kesultanan menjadi pusat dagang.