Banyak dari pemilih pemula yang mengandalkan media sosial untuk mencari informasi politik.
Hal ini menjadikan media sosial sebagai alat yang strategis untuk mempengaruhi opini politik mereka.
Melalui media sosial, politisi juga dapat mendengarkan suara pemilih muda secara lebih efektif.
Interaksi dua arah ini dapat memperbaiki representasi politik dan memperkuat demokrasi.
Dengan memanfaatkan platform ini secara strategis, politisi dapat merangkul aspirasi pemilih muda yang mungkin tidak terwakili dalam media tradisional.
Ini menjadi peluang bagi para pemimpin politik untuk menjangkau segmen pemilih yang lebih luas, termasuk mereka yang mungkin sebelumnya apatis terhadap politik.
Namun, di balik manfaatnya, media sosial juga menyimpan risiko.
Penyebaran informasi yang salah atau hoaks dapat memengaruhi persepsi politik pemilih pemula secara negatif.
Pemilih pemula juga harus waspada terhadap risiko keterbatasan informasi yang bisa timbul dari algoritma media sosial.
Algoritma ini cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi dan pola perilaku pengguna, yang berpotensi mengisolasi pemilih dalam ruang gema (echo chamber).
Kondisi ini bisa menyebabkan bias kognitif, di mana pemilih hanya terpapar pada sudut pandang tertentu, yang pada akhirnya dapat menghambat kemampuan mereka untuk melihat isu politik secara objektif dan menyeluruh.