Secara umum, Al-Qur’an dalam Surah al-Taubah (9): 60 telah menetapkan delapan golongan (asnaf) yang berhak menerima zakat, mulai dari fakir, miskin, hingga ibnu sabil. Meski demikian, zakat fitri memiliki keistimewaan tersendiri: ia diprioritaskan untuk kaum masākin, yakni orang-orang miskin.
BACA JUGA:Mengenal Zakat Fitrah, Makna, Rukun, Syarat, Cara Menghitung, Hingga Niat
BACA JUGA:Bolehkah Memberikan Zakat Fitrah Kepada Saudara Kandung yang Tidak Mampu? Simak Penjelasan Ini
Dasar prioritas ini terdapat dalam sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: “فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ اْلفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Diriwayatkan dari Ibn Abbas, ia berkata: “Rasulullah saw mewajibkan zakat fitri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari kata-kata yang sia-sia dan porno dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin”. (HR. Abu Dawud).
Penyebutan masākin secara khusus dalam hadis ini menjadi petunjuk kuat bahwa mereka adalah penerima utama zakat fitri.
Meski masākin disebut secara eksplisit, bukan berarti zakat fitri terbatas hanya untuk mereka. Berdasarkan kaidah fikih iṭlāqu al-juz’i wa irādatu al-kulli—penyebutan sebagian mengisyaratkan keseluruhan—zakat fitri juga boleh diberikan kepada delapan asnaf lainnya yang disebutkan dalam Alquran.
BACA JUGA:Zakat Fitrah di Kota Pagaralam Disepakati 2.5 Kg dan Rp 35 Ribu
BACA JUGA:Rumah Zakat Sumsel Salurkan Paket Lebaran dan Buka Puasa di Perumahan Griya Cipta Persada Palembang
Namun, penegasan Rasulullah dalam hadis tersebut memberikan sinyal kuat bahwa masākin harus didahulukan. Ini sejalan dengan tujuan zakat fitri itu sendiri: bukan sekadar kewajiban ritual, tetapi juga alat untuk menyeimbangkan keadilan sosial di tengah masyarakat.