Masyarakat yang menganut budaya politik kaula memiliki keinginan untuk berpartisipasi tetapi tidak mempermasalahkan hasil dari keputusan pemerintah, karena sadar seluruh otorisasi pemerintahan sepenuhnya berada di tangan pemerintah.
3. Budaya politik partisipan
Budaya politik ini ditandai dengan masyarakatnya yang memiliki kesadaran tinggi untuk ikut berpartisipasi terhadap kehidupan politik negaranya.
BACA JUGA:UIN Raden Fatah dan Applied Science University Perkuat Kerjasama Internasional, Begini Ceritanya!
Budaya politik partisipan memandang sari orientasi evaluatif yang melibatkan pengetahuan dan perasaan.
Keaktifan masyarakat dalam kegiatan politik dapat memberi dampak positif bagi perkembangan negara.
Saat ini, budaya politik di Indonesia termasuk kategori budaya politik campuran atau mixed political culture, yaitu antara budaya politik partisipan dan budaya politik kaula-parokial.
Di kota-kota besar seperti Yogyakarta, Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, dan lainnya, masyarakat cenderung partisipan terhadap kehidupan politik.
Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah marginal (pinggiran) yang masih memegang prinsip budaya kaula-parokial.
Masyarakat yang tinggal di daerah marginal dinilai tidak berdaya dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan.
Budaya politik kaula-parokial terjadi karena adanya isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, paternalistik, feodalisme, dan juga ikatan primordial, yang memiliki sifat sentimen kedaerahan, kesukaan, dan keagamaan.
Sedangkan, yang menganut budaya politik partisipan dipengaruhi oleh tingginya tingkat pendidikan atau perekonomian.
BACA JUGA:Kasek dan Bendahara Madrasah Ini Belajar EUT SAKTI, Tingkatkan Kualitas Laporan