BACA JUGA:Bupati OKU Timur Ingatkan Para Kades Tak Beli Kendaraan Motor Pakai Dana Desa
Budaya politik di Indonesia juga masih memperlihatkan sikap “bapakisme” yaitu sikap ABS atau asal bapak senang, sementara para pejabat publik masih berorientasi kepada kekuasaan daripada pengabdian kepada masyarakat.
Dalam hal ini, bapakisme mempraktikkan hubungan pemimpin dan bawahan seperti hubungan bapak dan anak, yang di mana bawahan harus patuh dan hormat kepada pemimpin.
Sikap ini juga dinilai sebagai sikap yang mengagung-agungkan pemimpin.
Sikap “bapakisme” ini semakin diperparah lagi dengan kondisi partai politik yang sudah tidak lagi bergerak berdasarkan ideologi perjuangan politiknya, melainkan lebih bersifat pragmatis.
BACA JUGA:KABAR GEMBIRA! ITB Siapkan 2 Beasiswa Unggulan, Bebas Biaya Kuliah dan Dapat Laptop Gratis
BACA JUGA:Masuk STAN Bisa Pakai ‘Orang Dalam’ dan Mudah Dapat Jodoh? 8 Mitos Masuk PKN STAN Wajib Kamu Ketahui
Hal ini dapat membuat rakyat menjadi objek politik dan kekuasaan, bukan subjek kekuasaan seperti yang diharapkan oleh demokrasi.
Budaya politik di Indonesia masih bertahan pada sikap paternalisme (selalu mengikuti pola) dan patrimonial (warisan bapak).
Selain itu, juga terdapat keraguan interaksi tentang modernisasi dengan pola yang sudah berakar kuat sebagai tradisi dalam sebuah lingkup masyarakat, sehingga melahirkan masyarakat yang cenderung apatis terhadap kehidupan politik di Indonesia.
Sikap apatis masyarakat ini dapat terjadi karena adanya kebijakan yang tidak sesuai dan tumpang tindih dalam masyarakat yang membuat masyarakat menjadi kebingungan.
BACA JUGA:Apa Beda KIP Sekolah dan KIP Kuliah, Cek di Sini?
BACA JUGA:Hai Pelamar Kerja, Ini 5 Pertanyaan Umum Dalam Wawancara Kerja dan Cara Menjawabnya
Selain itu, kurangnya dukungan dan sikap keteladanan dari para tokoh pemerintahan, tokoh agama, dan yang lainnya sehingga menyebabkan masyarakat mengikuti pola perilaku mereka.
Kemudian, pola penegakan hukum juga tidak menyentuh rasa keadilan dalam masyarakat, hingga munculnya suatu peribahasa tentang hukum bahwasannya hukum di Indonesia “tajam ke bawah dan tumpul ke atas”.
Hal ini mengakibatkan masyarakat memberi respons yang negatif dan kontradiktif terhadap kebijakan dan aturan yang dibuat pemerintah.