Dosen Fakultas Hukum UPGRI Palembang Kritisi Maraknya Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus, Yuk Berbenah!

Reporter: M Iqbal |

Editor: M Iqbal |

Jumat , 11 Apr 2025 - 08:41

Dosen Universitas Fakultas Hukum PGRI Palembang Kritisi Maraknya Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus.--freepik

KORANPALPRES.COM - Artikel berjudul "Suara yang Tak Boleh Dibungkam: Urgensi Penanganan Pelecehan di Lingkungan Kampus" ini ditulis oleh Suryati, M.H., Plt. Kaprodi/Dosen Hukum Bisnis, Fakultas Hukum, Universitas PGRI Palembang.

Beberapa minggu belakangan, dunia pendidikan tinggi Indonesia kembali dikejutkan dengan mencuatnya kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang profesor di Universitas Gadjah Mada (UGM), salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia.

Kasus ini bukan sekadar catatan hitam bagi institusi pendidikan tertua kedua di Indonesia tersebut, melainkan menjadi penanda bahwa ruang-ruang yang seharusnya menjadi tempat pencarian ilmu dan pengembangan nalar kritis masih menyimpan ancaman bagi keselamatan dan martabat perempuan.

Kampus, dengan segala perangkat keilmuan dan nalar kritisnya, seharusnya menjadi garda terdepan dalam memerangi segala bentuk diskriminasi dan pelecehan.

Namun paradoksnya, justru di tempat inilah kita sering menyaksikan bagaimana relasi kuasa yang timpang menjadi pintu masuk bagi terjadinya berbagai bentuk kekerasan berbasis gender.

Profesor, dengan otoritas akademik dan posisi hierarkisnya, memiliki kekuasaan yang signifikan terhadap mahasiswa.

Ketika kekuasaan ini disalahgunakan, terciptalah lingkungan yang mengancam, membungkam, dan akhirnya menormalkan kekerasan.

Kasus di UGM ini bukanlah yang pertama.

Berbagai universitas terkemuka di Indonesia pernah dihebohkan dengan skandal serupa.

Tahun 2019, kasus kekerasan seksual yang menimpa mahasiswi KKN UGM di Maluku telah menjadi perbincangan nasional.

dosen fakultas hukum upgri palembang kritisi maraknya pelecehan seksual di lingkungan kampus, yuk berbenah!                            koranpalpres.com - artikel berjudul "suara yang tak boleh dibungkam: urgensi penanganan pelecehan di lingkungan kampus" ini ditulis oleh suryati, m.h., plt. kaprodi/dosen hukum bisnis, fakultas hukum, universitas pgri palembang.
beberapa minggu belakangan, dunia pendidikan tinggi indonesia kembali dikejutkan dengan mencuatnya kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang profesor di universitas gadjah mada (ugm), salah satu perguruan tinggi ternama di indonesia.
kasus ini bukan sekadar catatan hitam bagi institusi pendidikan tertua kedua di indonesia tersebut, melainkan menjadi penanda bahwa ruang-ruang yang seharusnya menjadi tempat pencarian ilmu dan pengembangan nalar kritis masih menyimpan ancaman bagi keselamatan dan martabat perempuan. 
kampus, dengan segala perangkat keilmuan dan nalar kritisnya, seharusnya menjadi garda terdepan dalam memerangi segala bentuk diskriminasi dan pelecehan.
baca juga:489 mahasiswa diwisuda, bukti pgri palembang tetap konsisten cetak lulusan unggul
baca juga:membawa nama upgri palembang, nadia apri silia bidik runner-up 1 putri indonesia 2025
namun paradoksnya, justru di tempat inilah kita sering menyaksikan bagaimana relasi kuasa yang timpang menjadi pintu masuk bagi terjadinya berbagai bentuk kekerasan berbasis gender.
profesor, dengan otoritas akademik dan posisi hierarkisnya, memiliki kekuasaan yang signifikan terhadap mahasiswa.
ketika kekuasaan ini disalahgunakan, terciptalah lingkungan yang mengancam, membungkam, dan akhirnya menormalkan kekerasan.
kasus di ugm ini bukanlah yang pertama.
baca juga:jaga kualitas, universitas pgri palembang dorong mahasiswa lulus tepat waktu
baca juga:emina bagikan tips make up untuk bujang dan gadis kampus universitas pgri palembang
berbagai universitas terkemuka di indonesia pernah dihebohkan dengan skandal serupa.
tahun 2019, kasus kekerasan seksual yang menimpa mahasiswi kkn ugm di maluku telah menjadi perbincangan nasional.
universitas indonesia, institut teknologi bandung, hingga kampus-kampus di daerah tidak luput dari sorotan terkait penanganan kasus-kasus pelecehan seksual.
data dari komnas perempuan mencatat bahwa sepanjang 2023, terdapat lebih dari 200 kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan tinggi, dengan 65% di antaranya melibatkan dosen atau tenaga pendidik sebagai pelaku.
baca juga:lulus tepat waktu dan anti plagiat, jadi komitmen pps upgrip untuk mahasiswa
baca juga:upgrip cetak sejarah! targetkan 5 profesor dan 200 doktor hingga 2027
yang lebih mengkhawatirkan, angka tersebut kemungkinan besar hanyalah puncak gunung es.
banyak korban enggan melaporkan pengalaman mereka karena takut akan stigmatisasi, proses pelaporan yang rumit, atau bahkan ancaman terhadap masa depan akademik mereka.
budaya "diam dan bertahan" ini pada akhirnya menciptakan lingkaran setan yang memungkinkan pelaku untuk terus melanggengkan tindakan mereka dengan impunitas.
dampak yang melampaui individu
baca juga:universitas pgri palembang edufair 2025, kenalkan prodi sesuai minat dan bakat siswa
baca juga:penemu teori konstitusi nusantara isi kuliah umum kepada mahasiswa fkip universitas pgri palembang
pelecehan seksual di kampus tidak hanya meninggalkan luka bagi korban, tetapi juga merusak iklim akademik secara keseluruhan.
penelitian yang dilakukan oleh pusat studi gender dan seksualitas universitas indonesia menunjukkan bahwa korban pelecehan seksual di lingkungan akademik sering mengalami penurunan performa akademik, gangguan kesehatan mental, hingga memutuskan untuk mengundurkan diri dari studi mereka.
sebanyak 70% korban melaporkan mengalami gangguan kecemasan, 65% mengalami depresi, dan 45% pernah mempertimbangkan untuk bunuh diri.
lebih jauh lagi, normalisasi pelecehan dalam lingkungan kampus secara langsung bertentangan dengan prinsip-prinsip akademik yang menjunjung tinggi kejujuran, integritas, dan penghormatan terhadap martabat manusia.
baca juga:giat apakah kasrem gapo di universitas pgri palembang, ternyata hal ini
baca juga:selain pgri, brin dukung ujian nasional di sekolah kembali diadakan
ketika institusi pendidikan gagal melindungi anggota komunitasnya dari pelecehan, mereka gagal memenuhi mandatnya sebagai ruang yang aman untuk pertumbuhan intelektual dan pribadi.
dalam kasus terbaru di ugm, seperti juga kasus-kasus sebelumnya, respons institusional sering kali menjadi sorotan tajam.
institusi pendidikan tinggi cenderung mengutamakan perlindungan reputasi daripada keadilan bagi korban.
proses penanganan yang lambat, tidak transparan, dan sering kali menempatkan beban pembuktian pada korban menjadi kritik utama.
baca juga:oknum guru ngaji pelaku pelecehan terhadap 15 anak divonis 20 tahun, lpsk: peringatan keras bagi publik!
baca juga:waspada! inilah 12 modus pelecehan di kampus, bila menjadi korban, segera laporkan ke sini!
menurut survei yang dilakukan oleh jaringan nasional anti-kekerasan terhadap perempuan di 15 perguruan tinggi besar indonesia pada 2022, hanya 30% institusi yang memiliki protokol khusus penanganan kasus pelecehan seksual, dan hanya 20% yang memiliki unit atau lembaga khusus untuk menangani kasus-kasus tersebut.
lebih memprihatinkan lagi, dari kasus yang dilaporkan, hanya 25% yang berujung pada sanksi yang signifikan bagi pelaku.
kegagalan institusi dalam merespons dengan tepat tidak hanya menambah penderitaan korban, tetapi juga mengirimkan pesan yang salah kepada komunitas akademik.
ketika pelaku yang memiliki posisi kekuasaan dapat lolos dari konsekuensi yang sepadan dengan perbuatannya, terciptalah budaya impunitas yang berbahaya.
baca juga:kian marak! mahasiswa universitas andalas beri solusi jitu atasi perilaku seksual menyimpang
baca juga:maraknya perilaku seksual menyimpang di kalangan gen z karena algoritma media sosial, tanggung jawab siapa? 
undang-undang tpks: harapan baru?
disahkannya undang-undang tindak pidana kekerasan seksual (uu tpks) pada april 2022 seharusnya menjadi angin segar dalam upaya penanganan kasus pelecehan seksual di indonesia, termasuk di lingkungan kampus.
uu ini memberikan definisi yang lebih komprehensif tentang kekerasan seksual, memperluas jangkauan perlindungan bagi korban, dan memperkuat mekanisme penegakan hukum.
namun implementasi uu tpks masih menghadapi berbagai tantangan, terutama di lingkungan kampus yang memiliki dinamika kekuasaan dan budaya tersendiri.
baca juga:dorong transformasi pendidikan unggul, pascasarjana universitas pgri palembang gelar seminar nasional
baca juga:akselerasi universitas pgri palembang: dekan fbs unnes terpukau dengan langkah cepat rektor
lembaga bantuan hukum asosiasi perempuan indonesia untuk keadilan mencatat bahwa sepanjang tahun pertama setelah pengesahan uu tpks, dari 150 kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang mereka tangani, hanya 40% yang berhasil memanfaatkan kerangka hukum baru ini secara efektif.
perlu diingat bahwa kerangka hukum hanyalah salah satu aspek dari solusi komprehensif.
transformasi budaya dan struktur yang memungkinkan pelecehan terjadi juga sama pentingnya, dan ini membutuhkan komitmen jangka panjang dari seluruh komunitas akademik.
menuju kampus yang lebih aman dan setara
baca juga:upgri palembang mewisuda 1.159 mahasiswa, tahun ini maba meningkat hingga 30 persen
baca juga:publikasi artikel jadi syarat dapat ijazah, ini upaya yang dilakukan pascasarjana upgri palembang
kasus pelecehan seksual oleh profesor di ugm harus menjadi momentum untuk perubahan sistemik dalam pendidikan tinggi indonesia.
beberapa langkah konkret yang dapat diambil antara lain:
1. penguatan kebijakan anti-pelecehan: setiap perguruan tinggi harus memiliki kebijakan yang jelas, komprehensif, dan dapat diakses tentang pelecehan seksual, termasuk definisi, mekanisme pelaporan, dan konsekuensi bagi pelaku.
kebijakan ini harus ditinjau secara berkala dan disesuaikan dengan perkembangan hukum dan praktik terbaik.
baca juga:2.439 mahasiswa baru ikuti pkkbm, berikut ini strategi universitas pgri palembang hadapi persaingan
baca juga:pgri lahat gelar advokasi layanan pendidikan dalam kebijakan merdeka belajar, ini kata ketua 
2. pembentukan unit khusus: diperlukan unit atau lembaga khusus yang independen dan profesional untuk menangani kasus-kasus pelecehan seksual di kampus.
unit ini harus memiliki sumber daya yang cukup dan otoritas yang jelas untuk melakukan investigasi dan memberikan rekomendasi sanksi.
3. edukasi dan pencegahan: program edukasi tentang kesadaran gender, penghormatan terhadap batas-batas pribadi, dan pencegahan pelecehan seksual harus menjadi bagian integral dari orientasi dan pengembangan profesional bagi seluruh anggota komunitas kampus.
4. pendampingan korban: institusi harus menyediakan layanan dukungan psikologis, hukum, dan akademik bagi korban pelecehan seksual, dengan memastikan kerahasiaan dan menghindari proses yang dapat menimbulkan trauma ulang.
baca juga:resmi! universitas pgri palembang melakukan grand launching program studi hukum bisnis fakultas hukum
baca juga:tingkatkan mutu pendidikan lewat konferensi internasional, pgri target peringkat 200 besar se-asia
5. reformasi struktural: perlu adanya evaluasi terhadap struktur kekuasaan di perguruan tinggi yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan wewenang, termasuk dalam proses pembimbingan, evaluasi, dan promosi akademik.
survei yang dilakukan oleh pusat kajian gender dan seksualitas universitas indonesia pada 2023 menunjukkan bahwa kampus-kampus yang telah mengimplementasikan langkah-langkah di atas mengalami penurunan signifikan dalam kasus pelecehan seksual yang dilaporkan, serta peningkatan rasa aman dan kepuasan di kalangan mahasiswa dan staf.
kasus ugm terkini menjadi sorotan publik berkat peran aktif organisasi masyarakat sipil dan media dalam mengungkap dan mengawal proses penanganannya.
hal ini membuktikan pentingnya pengawasan eksternal terhadap institusi pendidikan tinggi dalam penanganan kasus pelecehan seksual.
baca juga:berkomitmen melaju dengan mutu, universitas pgri buka dua fakultas baru, ini penjelasannya
baca juga:hadiri kongres pgri, presiden jokowi tegaskan pentingnya lingkungan sekolah yang aman 
organisasi seperti koalisi ruang aman kampus, komnas perempuan, dan berbagai lembaga bantuan hukum telah menjadi sekutu penting bagi korban dalam mencari keadilan.
sementara itu, liputan media yang sensitif, akurat, dan bertanggung jawab membantu meningkatkan kesadaran publik dan menciptakan tekanan bagi institusi untuk menangani kasus dengan serius.
kolaborasi antara kampus, masyarakat sipil, dan media sangat penting dalam menciptakan mekanisme akuntabilitas yang efektif.
model "triple helix" ini telah terbukti efektif di beberapa negara dalam mendorong reformasi kebijakan dan praktik penanganan pelecehan seksual di lingkungan akademik.
baca juga:semarak hut ke-74 igtki-pgri kota palembang, harapan para pejabat tak terduga
baca juga:hadiri kongres pgri, presiden jokowi tegaskan pentingnya lingkungan sekolah yang aman 
kasus pelecehan seksual oleh profesor di ugm harus menjadi titik balik dalam cara kita memandang dan menangani kekerasan berbasis gender di lingkungan kampus.
pembungkaman terhadap korban dan normalisasi terhadap perilaku pelecehan tidak lagi dapat diterima dalam institusi yang mengklaim dirinya sebagai mercusuar peradaban.
setiap suara yang berani bersuara, setiap korban yang berani melangkah maju untuk mencari keadilan, layak mendapatkan dukungan penuh dari komunitas akademik dan masyarakat luas.
hanya dengan mendengarkan dan mempercayai suara-suara ini, kita dapat mulai membangun kampus yang benar-benar aman, setara, dan kondusif bagi pengembangan potensi manusia seutuhnya.
baca juga:tanamankan kesadaran tertib lalu lintas sejak dini, ini metode yang dilakukan igtki-pgri sukarami
baca juga:dinilai berkomitmen kuat kembangkan profesi guru, pj gubernur agus fatoni diberi penghargaan oleh pgri sumsel
sebagai institusi yang mengemban tanggung jawab untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa, perguruan tinggi harus menjadi contoh dalam menegakkan keadilan dan menghormati martabat setiap individu.
jika tidak, kita hanya akan menghasilkan generasi yang belajar bahwa kekuasaan dapat digunakan untuk menindas, dan kekerasan dapat dibiarkan tanpa konsekuensi.
suara para korban tidak boleh dibungkam lagi.
waktunya kita semua mendengar, mempercayai, dan bertindak.