Sebagai negara yang berideologi demokrasi, Indonesia sudah seharusnya menjunjung tinggi suara rakyat, salah satu penerapannya adalah dengan diadakannya pemilihan umum (pemilu) yang berorientasikan kepada suara rakyat.
BACA JUGA:MK Putuskan Batas Usia Minimal Capres dan Cawapres pada Pemilu 2024
BACA JUGA:Buka Pesantren Ramadan SMAN 5 Palembang, Ini Pesan Pj Gubernur Sumsel untuk Pelajar
Bersamaan dengan itu, adapun hukum yang mengatur terkait hak bersuara bagi rakyat dan juga hak rakyat dalam melakukan pemilu.
Dapat dilihat bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi telah menerapkan hukum yang berprinsip demokratis, namun penerapan dari hukum tersebut masih terbilang buruk.
Hal tersebut dapat terjadi karena pemegang kekuasaannya termakan oleh kekuasaan itu sendiri.
Seperti halnya yang dikatakan oleh Lord Acton bahwa sejatinya kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut sudah dipastikan korup.
BACA JUGA:Wow! Peserta yang Lolos Seleksi Tahap II Samsung Innovation Campus 2024 Didominasi Siswa Madrasah
Hukum yang tidak dijalankan bagaimana semestinya, pasti akan mengundang berbagai kekacauan dan itulah yang kerap kali terjadi di Indonesia.
Salah satu contohnya adalah adanya gerakan mahasiswa tahun 1998, yang dimana gerakan tersebut didasarkan atas kekuasaan presiden pada saat itu dijalankan dengan cara yang otoriter.
Maka dari itu, mahasiswa yang saat itu berperan sebagai mulut rakyat bersuara untuk meminta agar Soeharto sebagai presiden yang berkuasa saat itu turun dari jabatannya.
Selain karena alasan keotoriteran, mahasiswa dan rakyat menilai bahwa pemerintahan Soeharto saat itu dinilai tidak mampu dalam menghadapi krisis moneter.
BACA JUGA:Terima Penghargaan dari HMI Sumbagsel, Pj Gubernur Sumsel Jadikan ini Sebagai Motivasi
Terlebih juga adanya anggapan bahwa pemerintahan Soeharto telah banyak melanggar HAM, contohnya adalah dengan adanya Penembak Misterius atau dikenal dengan sebutan Petrus.