Dalam konteks Minang, terdapat ungkapan yang menggambarkan penggunaan Kato Malereang:
"Arif dengan kilat kata bayang
Belum berkilat sudah masuk kedalam tubuh
Terkilat air dalam air
BACA JUGA:5 Parfum Andalan Starboy untuk Anak Muda yang Suka Aroma Manis, Wanginya Tahan Lama dan Memikat
Ikan terkilat jala tiba
Sudah tentu jantan betinanya"
Contoh penerapan Kato Malereang adalah ketika seseorang berbicara kepada figur otoritas seperti penghulu atau pemimpin suku.
Sebagai contoh, ungkapan "ambo indak dapek pai jo angku" digunakan untuk menyampaikan ketidakmampuan seseorang dalam menghadapi otoritas.
BACA JUGA:TOP 8 PTN Terbaik di Indonesia Versi QS Sustainability Rankings 2024, UI Bukan Nomor 1 Lagi
Dilihat dari segi linguistik, Kato Malereang sangat terkait dengan faktor budaya dan norma-norma sosial yang mengikat masyarakat Minangkabau.
Norma-norma interaksi ini dianggap sebagai aturan yang harus dipatuhi dan diikuti oleh para penutur bahasa Minangkabau.
Dilihat dari unsur kebahasaannya, kato nan ampek erat hubungannya dengan faktor sosial budaya dan aturan-aturan yang mengikat masyarakat sebagaimana dipahami oleh masyarakat Minangkabau itu sendiri.
Norma-norma interaksi ini umumnya valid, objektif, aturan mengikat yang harus dipatuhi dan diikuti oleh pengguna bahasa itu sendiri.
BACA JUGA:Battle Review Oppo Find X7 Ultra Vs Vivo X100 Pro, Mana yang Lebih Worth It?