Kemudian dilanjutkan temuan kain teknik celup pada ikat penutup mumi Mesir berusia 1000 SM.
BACA JUGA:Guru Diajak Manfaatkan Museum Negeri Sumsel, Sumber Belajar Sejarah!
Seni bandhu India menyebar ke Tiongkok pada masa dinasti Tang persebarannya meluas hingga Afrika dan juga Asia Tenggara.
Sementara keberadaan Jumputan di Nusantara antara lain di Pulau Jawa dikenal dengan Tritik, Kalimantan Selatan (Kalsel) dengan Sasirangan.
Lalu jumputan di Kepulauan Bangka Belitung (Babel) dikenal dengan Cual, sedangkan di Palembang populer dengan jumputan Pelangi.
Menurut Idris, eksistensi seni jumputan saat ini menghadapi 3 problem antara lain ancaman keberadaan, belum didaftarkan pada kekayaan tak benda, serta belum dipakemkan motif dan peruntukan.
BACA JUGA:Lestarikan Tanjak Palembang Sampai Kiamat, Museum Negeri Sumsel Undang Mahasiswa 4 Kampus
BACA JUGA:Nyalakan Spirit Seni Budaya Gen Z, Museum Negeri Sumsel Kembali Gelar Lomba Tari Kreasi Tradisional
Sebagai solusinya, Idris menawarkan beberapa alternatif yakni pengembangan, aplikasi, promosi dan sosialisasi, pendaftaran, penelitian, pemakeman motif dan peruntukan.
Dia mencontohkan metode dalam mempromosikan jumputan Palembang yakni tekstilnya mengangkat cerita rakyat dengan kuat, termasuk kain ikat celup Jumputan Pelangi, motif ikat, songket emas, dan sulaman mewah.
Selain itu untuk upaya pengembangan dapat dilakukan lewat kerja sama dengan instansi terkait mulai dari dinas perindustrian, perdagangan, Museum, LSM, masyarakat, pengrajin, akademisi, budayawan, politisi, desainer, dinas/instansi pemerintah, dan dinas kebudayaan.
Kemudian upaya lainnya berupa gerakan kembali kepada tradisi yaitu pemanfaatan Kain Pelangi Palembang untuk pakaian, perlengkapan pakaian dan hiasan.