PALEMBANG, KORANPALPRES.COM – Saat ini Jumputan Palembang tengah dihadang 3 problem atau persoalan kekinian.
Persoalan tersebut diungkap Dosen Universitas PGRI Palembang Dr Muhamad Idris MPd saat menjadi pembicara dalam kegiatan Belajar Bersama Guru Sejarah di Museum Negeri Sumsel.
Kegiatan yang diikuti ratusan guru sejarah SD, SMP dan SMA di Sumatera Selatan (Sumsel) tersebut berlangsung di Auditorium Balaputra Dewa, Museum Negeri Sumsel, Sabtu, 28 September 2024.
Belajar bersama guru sejarah kali ini mengangkat tema Melestarikan Seni Kain Jumputan Palembang.
BACA JUGA:KEREN, Pj Ketua TP PKK Lahat Pandai Buat Pola Batik Jumputan Khas Lahat, Ini Buktinya
Dalam paparan berjudul “History of Kain Jumputan Dalam Tradisi Masyarakat Palembang”, Idris mula-mula mengartikan kata jumputan dan tradisi menjumput.
Menurut dia, tradisi menjumput atau mengambil sedikit dengan ujung jari bagian-bagian pada kain untuk menghasilkan motif tertentu.
Kemudian mengikat bagian-bagian itu lalu mencelupkannya dalam larutan pewarna sesuai keinginan.
Sementara dalam definisi bahasa asing, jumputan setara dengan Tie yang artinya mengikat, kemudian Dye berarti mencelup dengan warna.
BACA JUGA:Tak Disangka! Belajar Sejarah Ternyata Bermanfaat Bagi Kehidupan Kekinian, Begini Kata Presiden AGSI
BACA JUGA:Museum Negeri Sumsel Sumber Belajar Sejarah, Pemerintah Harus Melek Soal Itu, Ini Alasannya
Sesuai penamaannya Tie Dye, maka tekniknya antara lain ikat, celup, colet dan batik cap.
Lebih lanjut Idris menguraikan beraneka ragam Jumputan di dunia antara lain tersebar di Tiongkok, India, Afrika, Asia Tenggara, Jawa, Kalimantan Selatan, Sumsel, dan Bangka Belitung.
“Teknik jumputan atau tie dye sendiri sudah ada sejak 5000 tahun yang lalu di Mesopotamia, India, Peru, Mexico, Yunani, Romawi, Tiongkok, Mesir,” jelasnya.