Menurut cerita dari nenek moyang, tradisi tenun songket ini sudah ada sejak kemerdekaan tahun 1945, awal harga songket pada zaman dahulu dihargai sekitar 60 ribu sampai 70 ribu.
BACA JUGA:Sosok Penyelamat Wayang Palembang, Pelestarian Warisan Budaya Benda Dunia UNESCO
BACA JUGA:Nasib Wayang Palembang Terkini, Akulturasi Budaya yang Asing di Tanah Kelahirannya
Tanpa diketahui siapa yang membawa perdagangan ini ke Desa Tanjung Pinang, awal mula pembuatan songket dibuat dan belajar di Palembang oleh nenek moyang pada zaman dahulu dengan menggunakan alat tenun songket yang sederhana.
Tenun songket telah diwariskan turun temurun dari nenek moyang, awal motif tenun songket yaitu disebut Gebeng atau Dasar Gebeng.
Kain Gebeng ini lumayan mahal pada zaman dahulu, sehingga beriringnya zaman sekarang motif songket di Desa Tanjung Pinang dapat berkembang dengan motif-motif baru.
Mayoritas wanita di desa Tanjung Pinang, Kecamatan Tanjung Batu, sekitar 98 persen ibu- ibunya adalah pengrajin tenun songket dan memiliki alat tenun songket tradisional sendiri di rumah masing-masing.
BACA JUGA:Penutur 4 Bahasa Ini Punya Wilayah Komunitas Pengguna di Kota Pagaralam Lho
BACA JUGA:Lomba Baca Cerpen di Taman Budaya Sriwijaya Menuai Respon Positif, Bikin Peserta Nagih Lagi
Kain songket yang dihasilkan dijual kepada pengepul (bos) songket di desa Tanjung Pinang, yang selanjutnya menjualnya ke Palembang, atau pelanggan datang langsung ke perajin tersebut.
Selain di kota, penjualan kain songket ini sudah di produksi dan dijual keluar kota (Lampung, Jambi, Bengkulu, Jakarta dan lain-lain).
Kegiatan menenun songket yang dilakukan oleh ibu rumah tangga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga dan membantu memenuhi kebutuhan hidup anggota rumah tangga.
Sekarang pembuatan songket di Tanjung Pinang sudah menjadi matapencaharian oleh wanita di sana.
BACA JUGA:Tahu Kamu Hukum Wadh'i? Yuk Pelajari Disini
Mereka melakukan kegiatan menenun songket setiap hari untuk memenuhi kebutuhan mereka.