Proses penghentian penuntutannya pun dilakukan dengan sangat ketat, karena diputuskan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum).
Dalam konteks ini, penting untuk mengelaborasi antara hukum yang hidup (living law) dengan hukum yang berlaku (positive law).
“Inilah yang dimaksud dengan teori efektivitas hukum, Lawrence M. Friedman bahwa perlu adanya pengaturan mengenai keadilan restoratif (legal substance) dan penegak hukum/aparat selaku fasilitator untuk memasilitasi proses perdamaian (legal structure)," jelas Prof Adil.
"Dengan begitu diharapkan akan terwujudlah budaya hukum (legal culture) bagi penegak hukum dan juga masyarakat untuk membentuk kesadaran berpartisipasi dalam menegakkan hukum dan mengedepankan kepentingan pelaku, korban, keluarga pelaku, dan pihak lain yang terkait, untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dan damai,” timpalnya.
Lebih jauh Prof Adil menyitir bunyi pasal 18 (b) UUD RI 1945, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
BACA JUGA:6 Tips dari Yamaha cara Merawat Sepeda Motor Saat Berkendara Jarak Jauh, Nomor 5 Sering Terlupakan
Ia menyebutkan, Undang-undang Simbur Cahaya sebagai aturan adat di Sumatera Selatan (Sumsel) yang sudah pernah dipraktikkan sangat lama mulai 1630 sampai dengan tahun 1979/83 menjadi cukup beralasan untuk dipraktikkan kembali beberapa bagiannya seiring dengan semangat pelaksanaan restorative justice di Indonesia.
Efektivitas pemberlakuannya dapat dilihat pada aturan marga. Aturan ini memuat berbagai hal untuk marga dan dusun-dusun di Palembang.
Sesuai ketentuan Undang-undang Simbur Cahaya, disebutkan bahwa pemerintahan di daerah uluan dijalankan oleh Pasirah dengan gelar Depati adalah kepala marga yang merdeka.
Marga adalah wilayah di bawah pemerintahan Kesultanan Palembang terdiri dari sekitar 6 sampai 11 dusun yang dipilih oleh penduduk dan disahkan oleh raja/sultan.
Depati dibantu oleh beberapa proatin (anak buah), Beginda, dan Krio atau pembarap.
Tugas mereka adalah menjalankan pemerintahan, peradilan dan menjaga tradisi.
Beberapa masalah kecil (pencurian, penipuan, pelanggaran adat) diselesaikan oleh para proatin di tingkat dusun dan marga.
Hukuman yang diberikan umumnya berbentuk denda (uang ringgit, kadang juga real spanyol maksimal 12 real atau benda/binatang) atau kurungan badan.