Sehubungan dengan itu, seperti kita ketahui juga untuk penyebutan arca dalam berbagai kelompok masyarakat, mulai era prasejarah hingga masa klasik ada kecenderungan.
Kecenderungan bahwa arca dikenal, dimaknai, dipahami, dan digunakan masyarakatnya sebagai media dalam ritual pemujaan.
Ia mencontohkan, seperti arca Kesuburan yang wujudnya memperlihatkan genetik perempuan, dari era prasejarah di Eropa, arca Totem, termasuk arca Megalit.
Dengan kajian perspektif seni rupa, didapatkan sudut pandang baru, setelah selama ini Megalitik Pasemah lebih dikaji secara arkeologis.
Sebagaimana saat suatu karya seni rupa dibuat, dasar konsep penciptaannya adalah Estetika.
Maka pertanyaannya bagaimana dengan dasar konsep penciptaan patung Megalit Pasemah, mengingat kala itu belum mengenal konsep Estetika.
Sebagaimana kawan-kawan arkeolog melihat tinggalan megalitik sebagai media pemujaan arwah leluhur atau selaras konsep megalitik.
Maka berdasar Metode Ungkap Rupa (A. Erwan Suryanegara, 2018) menemukan konsep Puyang (Leluhur) dari perspektif dan konteks seni rupa.
Berdasar konsep “Puyang” itu diketahui, bahwa setiap artefak Megalitik Pasemah selalu memiliki atau menunjukkan relasi.
Mulai dari relasi antara manusia dengan Tuhan; manusia dengan alam, manusia dengan karya, manusia dengan diri, dan manusia dengan manusia.
Sebagaimana pembahasan A. Erwan Suryanegara, bahwa dalam wacana seni rupa, Ragam Hias merupakan bagian dari kelompok Seni Karajinan atau sering disebut juga Seni Krya atau Seni Terapan atau juga Seni Guna (use arts).
Mengingat ragam hias umumnya cenderung digunakan dalam benda pakai.
Masih dalam seni rupa, ragam hias atau secara spesifik berupa motif-motif hias, dikelompokkan dalam 2 kategori,
Pertama: Motif hias prasejarah atau purba yang cenderung bersifat geometris,
Kedua: Motif Hias stilir hewan dan tumbuhan.
Pada tinggalan-tinggalan megalitik, kedua kategori ragam hias tersebut ternyata diterapkan juga, namun keduanya sama-sama berfungsi dan bersifat simbolik.