BACA JUGA:Hadir di Pelataran Museum SMB II, Drama Musikal Legenda Pulau Cinta Hipnotis Ratusan Penonton
Syair, pantun, dan hikayat bukan sekadar seni, melainkan dokumen sejarah yang merekam perlawanan terhadap kolonialisme.
Ditambah tema cinta yang mendalam, moralitas, serta dinamika kekuasaan istana.
"Kesusastraan pada masa SMB II memperlihatkan ledakan kreativitas, keilmuan, dan kesadaran politik masyarakat Palembang," timpalnya.
Panji menekankan bahwa karya-karya ini seperti cermin zaman yang masih relevan untuk diskusi sastra modern.
BACA JUGA:Peneliti Muda Kupas Sejarah Kesultanan Palembang dari Naskah Kuno, SMB IV Beber Fakta Mengejutkan
Lebih jauh ia menyayangkan kalau karya sastra SMB II lebih banyak dikaji, diapresiasi dan dipelajari di luar Palembang dan Sumsel.
“Terutama di beberapa negara tetangga seperti Malaysia,” tukasnya.
Narasumber lainnya, budayawan Vebri Al Lintani menyoroti kurangnya perhatian masyarakat dan kalangan akademisi di Palembang terhadap karya-karya sastra peninggalan SMB II.
Menurut pria berambut gondrong ini, sejumlah karya sastra penting yang diyakini berasal dari SMB II justru lebih banyak diapresiasi peneliti serta lembaga pendidikan luar negeri seperti di Melaka, Malaysia.
Ia mencontohkan karya SMB II berupa Syair Burung Nuri yang terdapat penggambaran tentang sosok namun dijauhkan dari rakyat, keluarga, dan daerah asalnya.
Hal ini dinilai Vebri, mempunyai kemiripan dengan pengalaman SMB II sendiri, yang diasingkan kolonial Belanda jauh dari tanah kelahirannya, Palembang.
Dalam beberapa surat yang ditulisnya juga sambung Vebri, diketahui SMB II pernah memohon agar Belanda memindahkannya ke tempat yang lebih dekat dengan Palembang, seperti Batavia atau Jawa.