PASAL 26 ayat (3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa salah satu bentuk pendidikan nonformal adalah pendidikan kesetaraan.
Ketentuan tentang pendidikan kesetaraan diperuntukkan bagi anak bangsa yang tidak menginginkan menempuh pendidikan secara formal, namun ia tetap bisa mendapatkan tanda bukti telah menyelesaikan sebuah jenjang pendidikan.
Nomenklatur inilah yang diadopsi oleh Kementerian Agama untuk meng-‘afirmasi’ para santri pada Pondok Pesantren Salafiyah (PPS).
Bisa dibilang bahwa pendidikan kesetaraan adalah sebuah program yang pada awalnya bersifat “emergency exit” bagi santri yang tidak sempat mengikuti pendidikan formal baik di sekolah maupun madrasah.
BACA JUGA:Ratusan Mahasiswa UIN Surakarta Tidak Melihat Hilal Ramadan 2024, Ini Sebabnya
Program ini diinisiasi mulanya pada tahun 2000 yang tertuang dalam Kesepakatan Bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama Nomor 1/U/KB/2000 dan Nomor MA/86/2000 tentang Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola Wajib Belajar 9 Tahun.
Artinya, PPS adalah pendidikan nonformal tanpa proses “penyetaraan”pun sudah setara.
Pada 2018, nomenklatur pendidikan kesetaraan pada PPS dipilih sebagai metamorfosis dari pola paket, yang dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pendidikan kesetaraan ditempuh melalui pola paket A, B dan C.
Perlu diketahui, bahwa pola pendidikan pesantren salafiyah di awal-awal lebih dominan menggunakan model sorogan, bandongan atau halaqah.
BACA JUGA:CEIBS MBA Kembali Raih Posisi 1 di Asia, Menunjukkan Keunggulan dan Ketahanan
BACA JUGA:3 Prodi di FITK UIN Raden Fatah Palembang Akreditasi Unggul, Ini Daftar Program Studi
Setiap pesantren memiliki jenjang masa pembelajaran yang terbagi ke dalam ula (sama dengan SD), wustha (sama dengan SMP), dan ‘ulya (sama dengan SMA).
Pesantren memiliki otonomi untuk memberikan nomenklatur apapun, namun saat itu ditetapkan masa belajarnya adalah minimal 4 tahun di jenjang ula, 2 tahun di jenjang wustha dan 2 tahun di jenjang ulya.
Selanjutnya, gabungan antara nomenklatur pendidikan kesetaraan dengan pola penjenjangan pada PPS, melahirkan sebuah nomenklatur yang disebut Pendidikan Kesetaraan pada Pondok Pesantren Salafiyah (PKPPS) Ula, Wustha dan Ulya.