Kompetensi tersebut adalah pada mata pelajaran matematika, bahasa Indonesia, PPKN, IPS dan IPA untuk jenjang ula; ditambah Bahasa Inggris untuk jenjang wustha; dan ditambah cabang-cabang IPS untuk peminatan IPS pada jenjang ulya; serta penambahan cabang IPA untuk peminatan IPA pada jenjang ulya.
Pokok-pokok pikiran tersebut yang kemudian dituangkan dalam PMA Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pendirian dan Penyelenggaraan Pesantren, PMA Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren, dan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 3543 Tahun 2018 tentang Petunjuk Penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan pada Pondok Pesantren Salafiyah yang selanjutnya selalu ditegaskan setiap tahunnya dalam Keputusan Dirjen lainnya tentang Petunjuk Pelaksanaan Ujian Satuan Pendidikan dan Ujian Kesetaraan Nasional.
Pada tahun 2024, yang terakhir tersebut dituangkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 7231 Tahun 2023 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Ujian Satuan Pendidikan Kesetaraan.
BACA JUGA:Disdik Musi Rawas Utara Bantu Sekolah yang Terendam Banjir, Ini Jumlah Sekolah yang Terdampak
BACA JUGA:Polisi Sahabat Anak, Edukasi Cara Lalulintas yang Baik Sejak Dini
Pendidikan Pesantren; Belajar Harus Tuntas dan Mendalam
Pesantren berkomitmen dan berpegang teguh untuk mempertahankan karakteristik khas dengan pola pendidikan khasnya.
Dalam UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dibunyikan dengan bahasa "memenuhi arkan ma'had" yang lima. Faktor-faktor dan aktifitas penambah dari "luar" tidak boleh menggerus substansi pendidikan pesantren tersebut.
Dalam penyelenggaraan program kesetaraan, penambahan mata pelajaran umum tersebut tidak boleh menggerus waktu dan mengurangi capaian kompetensi sebagai seorang santri.
BACA JUGA:SMPN 3 Lahat Buka 256 Kuota Siswa Baru, Ini Syarat pendafatarannya
BACA JUGA:Ensiklopedia Seni Budaya Islam di Nusantara: Mengungkap 216 Hal Ihwal Kekayaan Warisan Islam
Maka, tidaklah aneh jika proses penyelenggaraan pembelajaran untuk capaian kompetensi tersebut hanya bersifat formalitas.
Namun dalam perkembangannya kemudian, kebijakan tersebut cenderung "disalahartikan".
Pendidikan Kesetaraan pada Pondok Pesantren dianggap sebagai “jalan mudah” mendapatkan ijazah formal.
Masyarakat berbondong-bondong "berburu" ijazah, tapi abai terhadap capaian kompetensi utama sebagai seorang santri.
BACA JUGA:Dukung Gerakan Sekolah Sehat, Ini yang Dilakukan Kemendikbudristek