Realitas Kesantunan Berbahasa Gen Z Minangkabau di Era Digital, Bikin Mahasiswa Unand Lakukan Hal ini
Nilai norma kehidupan dan aturan dalam berbahasa, terutama dalam penerapan kato nan ampek, dapat tertanam dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.--wikipedia
BACA JUGA:Universitas Tridinanti Buka Pendaftaran Mahasiswa Baru, Cek Syarat dan Jadwalnya
Kato nan Ampek adalah kata-kata yang digunakan dalam berbicara kepada orangorang di sekitar kita agar komunikasi menjadi baik, terdiri dari Kato Mandaki, Kato Manurun, Kato Melereang, dan Kato Mandata.
Keempat jenis Kato ini memiliki makna yang berbeda.
Kato Mandaki adalah kata-kata yang baik dan cocok digunakan saat berbicara dengan orang yang lebih tua dari kita.
Sedangkan Kato Manurun adalah kata-kata yang digunakan saat berbicara dengan orang yang lebih muda dari kita.
BACA JUGA:Gen Z Wajib Tau! Ini Bahaya Abuse Language, Penyalahgunaan Kata Serapan dari Bahasa Asing
Kato Melereang adalah kata-kata yang digunakan saat berbicara dengan orang yang kita hormati, seperti mamak, dan Kato Mandata adalah kata-kata yang digunakan saat berbicara dengan teman sebaya atau seusia kita.
Penggunaan Kato nan Ampek dalam masyarakat Minangkabau menunjukkan rasa hormat di antara sesama manusia, dan ini merupakan salah satu ciri khas masyarakat Minangkabau dalam berkomunikasi.
Di kalangan masyarakat Minangkabau, Kato nan Ampek masih sangat diperhatikan, terutama oleh para tetua adat dan golongan orang tua.
Ketika berkomunikasi dengan orang-orang tertentu yang masih memegang teguh adat istiadat ini, kita dituntut untuk memahami Kato nan Ampek ini.
BACA JUGA:Inilah Jadinya Kalau Kekuasaan Disalahgunakan Nepotisme Mulai Mengakar, Tunggu Saja Tanggal Mainnya!
Namun, di era modern ini, terjadi pengerusan dan kurangnya penerapan Kato Nan Ampek pada generasi muda di Minangkabau.
Perkembangan teknologi dan arus globalisasi yang cepat membawa perubahan signifikan dalam cara berkomunikasi dan berinteraksi.
Remaja Minangkabau kini lebih sering terpapar oleh budaya luar yang cenderung lebih bebas dan kurang memperhatikan etika tradisional.
Akibatnya, sikap sopan santun dalam berbahasa, yang seharusnya menjadi ciri khas masyarakat Minangkabau, semakin terpinggirkan.