Pendhapa Jemparingan Hadir sebagai Penjaga Tradisi Panahan Jawa di Tengah Gempuran Zaman Modern
Pendhapa Jemparingan Hadir sebagai Penjaga Tradisi Panahan Jawa di Tengah Gempuran Zaman Modern--doc koranpalpres.com
“Kami ingin setiap peserta merasakan tenang, fokus, dan hadir sepenuhnya," lanjutnya.
Lebih jauh ia menjelaskan, Jemparingan sendiri adalah warisan budaya dari Kerajaan Mataram yang telah berusia ratusan tahun.
BACA JUGA:Merawat Kebhinnekaan Lewat Sastra: Generasi Muda Sumsel Diajak Gali Akar Budaya Lokal
Gaya memanahnya unik, dilakukan dalam posisi duduk, bukan berdiri, dengan busur panjang yang disebut Gandewa.
Busur ini dianggap sebagai pusaka pribadi, karena dibuat secara khusus menyesuaikan tinggi dan karakter sang pemanah.
“Gandewa itu bukan alat biasa. Ia harus dihormati,” ujar sang pengajar sambil memperlihatkan salah satu busur karya tangannya sendiri.
“Saya membuatnya dari bambu pilihan tanpa ruas, yang disimpan minimal satu tahun sebelum digunakan. Ini bukan produk massal. Ini karya,"sebutnya.
Selain Gandewa, ada pula Wong-Wongan, yakni sasaran panah khas Jemparingan berbentuk silinder kecil berdiameter hanya tiga sentimeter dengan warna merah dan putih.
“Merah melambangkan kepala, putih melambangkan dada. Tapi yang terpenting adalah makna di baliknya yakni mengendalikan diri, bukan melukai,” jelasnya.
Di setiap sesi, selalu ada empat kata yang diulang dan ditanamkan kepada peserta: Sawiji, Greget, Sengguh, Ora Mingkuh.
Empat prinsip dasar filosofi Jemparingan dalam bahasa Jawa yang jika diterjemahkan berarti: