Selanjutnya Dr Hendra Sudrajat SH MH membawakan pemaparan berjudul “Perspektif HAM Terhadap Penghapusan Marga dan Prospek Pemerintahan Marga”.
Penemu Teori Konstitusi Nusantara ini membeberkan, penyeragaman sistem pemerintahan desa di Indonesia yang tertuang dalam UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa.
Dari penyeragaman sistem pemerintahan desa ini, Hendra menyampaikan solusi berupa revisi kembali UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Dan memperkuat di tingkat Provinsi Sumsel dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) dan di tingkat Kabupaten/Kota di Provinsi Sumsel yang pernah berlaku sistem pemerintahan marga.
Hendra kemudian menyoroti masih terbelahnya pemahaman masyarakat dan elite lokal dalam konteks penerapan marga dalam sistem pemerintahan.
Hal ini mengingat bahwa marga memiliki pola persebaran di masing-masing wilayah di Provinsi Sumsel, sehingga mempunyai karakteristik dan pola masing-masing.
Sebagai solusinya kata Hendra, satukan persepsi dan langkah masing-masing marga yang ada di Provinsi Sumsel, sehingga terjadi penyatuan gerak dalam penerapan pemerintahan marga.
Upaya ini dalam bentuk membangkitkan kembali marga setelah adanya penyeragaman sistem pemerintahan desa di Indonesia yang tertuang dalam UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa.
Lantas terkait lemahnya dukungan regulasi pemerintahan lokal, seperti Perda Pemprov Sumsel dan perda tingkat Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Sumsel.
Untuk menurut Hendra perlunya penyusunan dan penetapan perda Pemprov Sumsel, dan perda tingkat kabupaten/kota di wilayah provinsi Sumsel yang mengutamakan eksistensi marga sebagai suatu sistem pemerintahan lokal.
“Agar perda di tingkat provinsi dan kabupaten/kota berkualitas, maka dibutuhkan akademisi dan ahli hukum tata negara dilibatkan dalam proses penyusunan dan penetapan perda di semua tingkatan, agar pembuatan perda disertai dengan daftar inventarisasi masalah dan naskah akademik,” tukasnya.
Narasumber berikutnya, Dr Meita Istianda SIP MSi menyampaikan makalahnya yang berjudul “Quo Vadis Marga”.
Di awal paparan, Meita menuturkan mengenai istilah marga yang telah muncul sejak masa Sriwijaya.
Sebagaimana cuplikan dalam Prasasti Kota Kapur berikut ini:
“…yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu;
biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk, biar sebuah ekspedisi untuk melawannya seketika di bawah pimpinan datu atau beberapa datu Śrīwijaya, dan biar mereka dihukum bersama marga dan keluarganya. …” (Naskah Akademik Ranperda Marga, 2021).