Sedangkan kaum muslimin diperintahkan untuk berpuasa pada 9 dan 10 Muharram.
Perintah ini sebagai bentuk menyelisihi orang-orang Ahlul Kitab dan larangan untuk tasyabuh atau menyerupai mereka.
Para ulama membagi pelaksanaan puasa Asyura ini menjadi 4 bagian, antara lain:
1. Berpuasa 3 hari di tanggal 9, 10 dan 11 Muharram yang berlandaskan dalil hadits dari Ibnu Abbas.
Derajat hadits ini adalah dhaif, sebagaimana pendapat dari Imam Ahmad dan Ibnu Sirin.
2. Pelaksanaan puasa Asyura yaitu pada hari ke-9 dan ke-10 (Muharram), seperti dijelaskan dalam hadits di atas.
3. Puasa pada hari ke-9 dan ke-10, atau hari ke-10 dan ke-11.
Puasa seperti ini mengacu kepada pendapat dari Abdullah Ibnu Abbas, dan sayangnya hadits ini marfu’ dan dhaif.
4. Puasa hanya pada hari ke-10, namun kebanyakan ulama memakruhkan karena khawatir sebagai tasyabuh kepada Ahlul Kitab.
Lebih lanjut Ustadz Abu Rufaydah menjelaskan motivasi melaksanakan Puasa Asyura ini.
Beliau mendatangkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan dari Abu Qataadah radhiyallahu ta’ala ‘anhu.
Di suatu kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah ditanya tentang puasa Asyura.
Menanggapi soalan itu, beliau menjawab bahwa puasa Asyura itu akan menggugurkan dosa setahun lalu.
Dalam riwayat lain bunyinya, “Puasa Asyura aku berharap kepada Allah agar menghapuskan dosa-dosa setahun sebelumnya”.
Dalam hadits di atas menunjukkan keutamaan puasa Asyura yaitu puasa yang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram.
Dan ini adalah pendapat yang paling rajih dan masyhur di kalangan para ahli ilmu.