Pandangan MUI Musi Banyuasin Terhadap Praktik Pinjaman Online Pada Aplikasi Fintech Lending

Jumat 23 Aug 2024 - 14:40 WIB
Reporter : Trisno Rusli
Editor : Trisno Rusli

Dua pihak yang berakad, yakni orang yang berutang (muqtaridh) dan orang yang memberikan pinjaman (muqaridh), disyaratkan (Rifai’i, Moh 1978 : 414):

1) Baligh, berakal cerdas dan merdeka, tidak dikenakan hajru. Artinya cakap bertindak hukum.

2) Muqaridh adalah orang yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan untuk melakukan tabarru’. Artinya harta yang diutang merupakan miliknya sendiri.

Menurut ulama Syafi‟iyah ahliyah (kecakapan atau kepantasan) pada akad qardh harus dengan kerelaan, bukan dengan paksaan.

Berkaitan ini, ulama Hanabilah merinci syarat ahliyah attabarru‟ bagi pemberi utang bahwa seorang wali anak yatim tidak boleh mengutangkan harta anak yatim itu dan nazhir (pengelola) wakaf tidak boleh mengutangkan harta wakaf.

Syafi‟iyah merinci perrmasalahan tersebut. Mereka berpendapat bahwa seorang wali tidak boleh mengutangkan harta orang yang di bawah perwaliannya kecuali dalam keadaan darurat.

c. Harta yang diutangkan

Menurut Rozalinda (2016 : 233) Harta yang dihutangkan memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Harta yang diutangkan merupakan mal misliyat yakni harta yang dapat ditakar (makilat), harta yang dapat ditimbang (mauzunat), harta yang diukur (zari’yat), harta yang dapat dihitung (addiyat). Ini merupakan pendapat ulama Hanafiyah.

2) Setiap harta yang dapat dilakukan jual beli salam, baik itu jenis harta makilat, mauzunat, addiyat. Ini merupakan pendapat ulama Malikiyah, Syafiiyah, Hanabilah. Atas dasar ini tidak sah mengutangkan manfaat (jasa). Ini merupakan pendapat mayoritas fuqaha.

3) Al-Qabad atau penyerahan. Akad utang piutang tidak sempurna kecuali dengan adanya serah terima, karena didalam akad qardh ada tabarru’. Akad tabarru’ tidak akan sempurna kecuali dengan serah terima (al-qabadh).

4) Utang piutang tidak memunculkan keuntungan bagi muqaridh (orang yang mengutangkan).

5) Utang itu menjadi tanggung jawab muqtarid (orang yang berutang). Artinya orang yang berutang mengembalikan utangnya dengan harga atau nilai yang sama.

6) Barang itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan dalam Islam (malmutaqawwim).

7) Harta yang diutangkan diketahui, yakni diketahui kadar dan sifatnya.

8) Pinjaman boleh secara mutlak, atau ditentukan dengan batas waktu.

Kategori :